Sebuah Perjumpaan

Perawat berbaju putih itu berjalan di depanku sambil membawa lentera menyala dan  klining-klining mungil di sepanjang koridor rumah sakit Klining-klining itu pertanda bahwa saatnya memberi komuni kudus kepada para pasien yang beragama Katolik yang sangat membutuhkan dukungan doa dalam iman akan Tuhan. Semua orang atau petugas yang berada di sepanjang jalan atau tempat di mana ada komuni mereka pasti menghentikan aktivitas mereka dan memerikan penghormatan yang mendalam.

Sambil berjalan keliling rumah sakit sy berpikir keren juga ya para karyawan ini, mereka sudah dididik dengan baik untuk selalu menghormati Tuhan dalam setiap kesempatan. Biasanya sebelum memulai aktivitas ini saya menunggu mbak perawat dikapel kecil belakang biara para Suster CB berdekatan dengan kapel besar yang biasa dipakai umat untuk misa dan berdoa di hari Minggu, begitu mbak perawat datang, kalimat pertama yang saya tanyakan adalah, hari ini kita punya berapa pasien mbak? Di ruang mana yang paling banyak? Ada suster, romo, frataer atau keluarga para suster gak? Selesai basa basi singkat  dan mbak perawatnya siap maka kami berangkat. Pertama kali kami pasti menuju ke ruang Fransiskus yang adalah ruang rawat inap dengan satu tempat tidur dan sofa mewah tempat para keluarga pasien beristirahat, juga fasilitas-fasilitas lain yang bagus dan keren. Maklumlah fasilitas keren wong ini ruang VIP kok, dari situ kami menuju ke ruang Maria yang juga masih saudaraan sama Fransiskus, mereka VIP. Oh nama-nama ruang rawat inap di rumah sakit ini mengambil nama Santo Santa atau orang kudus karena jelas sekali bahwa ini adalah rumah sakit Katolik. 

Biasanya ketika kami tiba di ruang yang bersangkutan, pasien telah siap dengan duduk manis dan  bersih. Rupanya sejak 30 menit sebelum kami datang, para pasien ini sudah disiapkan baik secara jasmani maupun dengan ibadat singkat dan instrumen-instrumen indah yang diperdengarkan dari sentral. Setelah dari Maria kami beranjak ke ruang Yosef, tempat rawat inap ini biasanya dikhususkan untuk ibu dan bayi. Di dalamnya kami bertemu banyak ibu yang baru saja melahirkan dengan bayi-bayi mungil mereka. Sang bayi biasanya tidur di sampingi ibunya dengan memakai kelambu kecil. Kalau saya bilang mah itu tudung saji, hehhhee. Bentuk  tudung saji ini imut sekali dan kita bisa memandang bayi dari luar dengan sepuas-puasanya. Bayi ini harus diberi berkat dengan tangan kita sendiri, dan saya dengan senang hati menyentuh mereka, entah di kaki, dahi atau di tangan mereka yang halus banget. Tetapi kadang-kadang saya tidak mempunyai keberanian untuk menyentuh bayi-bayi ini karena kelihatan mereka kecil sekali dan baru berumur sehari atau dua hari, saya takut menyakit mereka dengan sentuhan saya, maka yang bisa saya lakukan adalah memberkati mereka dari atas selimut yang membungkus tubuh mereka atau bahkan dari pinggir tudung saji. Ah anak-anak yang manis. Cepat besar ya nak, makan yang banyak, sehat dan Tuhan memberkatimu.

Dari Maria kami beranjak ke ruang Pius, di tempat ini saya bertemu banyak pasien, dari tampilan fisiknya sih mereka nampak sehat, namun selalu berdiam diri dan tak memberi senyum bila disapa, kadang mereka juga berbicara sendiri tapi yang membuat kami gembira adalah mereka tetap mau menerima komuni dengan sopan dan taksim, semoga cepat sembuh ya!

Setelah beres di Pius kami biasanya masuk ke dalam lorong yang sempit menuju ke ruang cuci darah, nah di tempat ini saya mempunya banyak kenalan, loh di mana kenalnya? Ya di ruang cuci darah ini. Pasien cuci darah itu kan statis dan dalam waktu yang lama, jadi saya pasti hafal wajah mereka, bahkan tempat tidur mereka pun saya ingat. Paling sudut tempat tidurnya itu pasti bapak yang masih muda, agak item tapi manis, dia biasa ditemani oleh istrinya yang selalu berwajah ceria, di seberang bapak ini ada pasien bapak-bapak yang tinggi banget, kulit putih, selalu sendirian dan tak pernah senyum, tapi ketika disapa selamat sore, beliau pasti menjawab. Ada lagi seorang ibu tua yang tempat tidurnya ada di bagian tengah dekat meja petugas. Ibu ini selalu sumringah wajahnya, dan suka mengucapkan terima kasih dengan  suara keras (yang lain juga pasti bilang terima kasih sih, tapi khusus untuk ibu yang ini suaranya paling banter). Ada juga bapak2 tua yang selalu bersama anaknya. Selalu memperhatikan dengan detail orang yang akan saya layani dalam komuni dan tidak lupa selalu senyum manis saya berikan kepada mereka juga tepukan kecil di bahu mereka.

Dari ruang cuci darah kami beranjak ke ruang anak yang saya agak lupa nama ruang ini, kelihatan sekali kalo ini ruang khusus merawat anak karena banyaknya mainan dan wangi ruang ini beda dengan yang lainnya. Warna dinding juga penuh dengan gambar-gambar lucu khas anak. Saya senang masuk ke ruangan ini tapi tidak senang jika menjumpai banyak pasien anak di dalamnya. Tak tega hati saya melihat anak-anak yang diinfus lengannya atau yang lagi nangis-nangis karena merasa tak nyaman dengan sakitnya. Dari ruang anak kami berkunjung ke ruang Lidwina. Ruang ini punya keistimewaan tersendiri karena terdiri dari 5 lantai. Bayangkan 5 lantai, dan kami harus berjalan keliling lantai2 itu untuk bertemu pasien. Tapi untunglah ada sekurity yang menolong kami, ia selalu siap di depan pintu lift dan begitu kami muncul di luar ruang, lantai lift sudah siap. Ruang Lidwina ini tempat perawatan pasien yang mengalami sakit yang biasa, entah itu panas, batuk, pusing atau lain sebagainya .

Dari Lidwina  kami bergegas ke ruang Lukas, tempat ini biasa dipakai oleh pasien rawat inap pasca operasi. Ketika menatap mereka ada rasa sedih karena ada yang abis operasi usus, operasi tulang, dan macam-macam lainya yang membutuhkan waktu penyembuhan yang  lama. Saya berusaha menyapa mereka semua dengan tulus juga keluarga atau kerabat yang lagi berada bersama mereka, dan ini sebuah kebahagian kecil yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.. Yang terakhir saya bersama mbak perawat dengan diantar sekurity kami naik ke lantai 3. Ini adalah daerah khusus untuk pasien ICU. Kami diwajibkan untuk masuk dalam keadaan steril dan bersih. Petugas di ruangan ini pun bebas dari kuman, mereka wajib memakai pakaian khusus dan tutup kepala. Paisen yang berada di kamar-kamar ini adalah pasien terminal akhir, entahlah mereka bisa sembuh atau tidak selepas kamar ini. 

Ada pasien yang diam saja tak bergerak, ada juga pasien yang masih memiliki sedikit respon ketika di sapa. Mereka juga tidak bisa menerima komuni suci maka yang bisa saya lakukan adalah memberi berkat di dahi atau tangan mereka sambil berucap, semoga Tuhan menyembuhkanmu. Saya pernah bertemu seorang pastor SVD (Saya lupa namanya tapi saya ingat wajahnya, beliau lama bertugas di Manggarai), ketika saya datang dan menyapa, beliau bisa tersenyum dan membalas salam saya, bahkan beliau masih bisa menggerakkan tangannya untuk memberkati hosti kudus yang akan sy suapkan ke mulutnya. Sampai dengan minggu ketiga saya masih bertemu beliau di ruang yang sama. Minggu ke empat ketika saya datang, kamar di ruang ICUi tu sudah ditempati orang lain, saya kaget dan bertanya, pater yang di sini di mana? Oh sudah meninggal Suster tadi pukul 12.00 (Saya datang ketika itu pkl 17.30) dan sekarang sudah berada di ruang duka, petugas di kamar itu memberi penjelasan. Saya kaget luar bisa dan hanya bisa berucap dalam hati, semoga hati dan jiwamu terbuka untuk menerima kasih dan sayang Tuhan, RIP. Setelah semua urusan doa beres, saya kembali ke kapel kecil dibelakang biara, beberes dan dalam sekejap saya berlari ke ruang duka yang letaknya bersebelahan dengan rumah sakit Carolus. 

Sampai di sana dari jauh saya melihat banyak orang berkerumun di salah satu kamar yang ada, maka saya bergegas ke sana, ternyata bukan kamar itu yang saya  maksud. Kamar tempat pater SVD berbaring letakknya di sebelah kamar di mana saya berdiri , lalu dengan pelan sy ke sana. Tak banyak orang di sekitar peti, maka saya mendekati peti berdiri di samping dan dalam hati saya berucap, Pater, ini minggu keempat saya datang ke kamar Pater di atas, tapi saya tidak menemukannmu, ketemunya malah di sini, semoga Pater berbahagia, sudah sembuh dari penyakitnya dan dosa-dosamu diampuni. Ada rasa sedih sekali ketika berdiri di samping jenazah ini karena saya sudah merasa akrap dengannya karena sudah  3 kali hari Senin saya hadir di samping tempat tidurnya. Selamat jalan Pater, berbahagialah bersama Tuhanmu di surga.

Kalau ada pasien yang saya kenal entah itu keluarga para suster, orangtua murid, romo atau suster yang sakit maka biasanya setelah semua ibadat  komuni, selesai,  saya kembali lagi ke kamar mereka sekedar untuk berbincang-bincang atau menemani mereka makan, mengupas buah dan mengajak mereka ngobrol. Nanti cerita tentang mereka saya lanjutkan begitu saya sampai di rumah kembali. Komunitas kami menwajibkan kami untuk selalu bercerita jika menemukan pasien di rumah sakit yang dikenal oleh para suster dikomunitas supaya bisa didoakan lebih lanjut.

Perjalanan kembali ke  rumah setelah bertugas ini juga tidak gampang, karena saya harus menumpang TJ (trans Jakarta) pada jam orang bubaran kantor. Berjalan sepanjang koridor depan Carolus, lalu begitu sampe halte mesti menunggu busway yang datang dan hampir selalu penuh nuh,, bisa berjam-jam saya menunggu. Mau naik taksi atau bajaj juga sama saja karena macet. Maka biasanya saya dengan sabar menunggu sambul berdoa rosario di halte, atau kebiasaan saya yang paling saering saya lakukan adalah duduk dan mengamati semua orang yang lagi berada dalam halte, memandang wjah mereka dan merasakan aura banyak orang yang pasti dalam keadaan capek dan lelah. 

Tidak jarang saya juga harus berebutan bersama orang lain untuk masuk busway dan ketika sampai di dalam perjuangan belum berakhr. Pada jam segitu hampir pasti tidak ada tempat duduk yang kosong, bahkan berdiri pun empet-empetan, dan pasti dengan banyak aroma, hehehhe... Saya sih berharap ada yang mau memberi tempat duduknya untuk saya, tapi kenyataannya tak pernah hal itu terjadi, apakah saya belum masuk dalam kategori khusus alias lansia kali ya atau belum  termasuk dalam golongan orang berkebutuhan khusus ya, hehehhe.. Saya pilih yang pertama saja kalau saya belum termasuk kaum lansia, padahal kalau saya perhatikan banyak anak remaja kaum muda dan mudi yang duduk asyik dengan handhone dan headset di kuping yang duduk tepat di depan saya bediri. Ihh apa gak malu apa sama orangtua yang lagi berdiri? (Merasa diri tua soalnya), tapi ya sudahlah saya masih kuat kok untuk berdiri sepanjang jalan dari halte Carolus menuju Harmoni lalu ganti busway lagi yang jurusan Blok M dan turun di halte Sarinah. Cukup jauh dan melelahkan secara fisik. 

Tiba di rumah saya langsung mandi dan masuk kapel dan  berdoa saya merenung kembali kegiatan saya sepanjang sore hari, bertemu begitu banyak pasien di rumah sakit juga orang-orang di dalam angkutan umum. Ketika berhadapan dengan para pasien ada rasa syukur pada Tuhan karena masih diberikesehatan, dan rasa syukur itu menular saya berikan kepada orang sakit yang saya jumpai. 

Ketika berhimpit-himpitan dalam busway, saya menyadari arti perjuangan hidup yang sebenarnya, kadang saya memberi senyum kepada orang di samping saya dalam bis, atau bahkan banyak kali saya yang lebih didahulu di sapa oleh mereka. Terus terang pengalaman ini begitu memberi semangat pada saya, saya dan ketika tiba saatnya ke rumah sakit lagi minggu berikutnya, saya sudah siap karena saya yakin pertemuan kami di rumah sakit memberi cadangan energi positif yan gcukup untuks aya. 

Tuhan memberi saya rahmat dan kesenangan-kesenangan kecil di tengah rutinitas tugas harian yang tak akan pernah selesai. Thanks God ! 

 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tours' dan Marie Incarnasi

Gadis KEcil Dari Desa

Mereka Datang Dari Sittard