Dua Pohon di Depan Kamar
Di biara Theresia Jakarta ada dua pohon besar
di tengah kebun. Pohon gede dan tinggi melebihi lantai 3 biara. Gak tau berapa
umurnya tapi menurut orang2 yang lumayan ngerti situasi sekitar, pohon ini
usianya diatas 100 tahun. Wahh.....saya memanggilnya dengan pohon gula karena
buahnya mengandung gula. Nama aslinya sih gak tau apalagi nama latinnya. Setiap
lewat dibawahnya saya selalu menengok keatas dan menatapnya sebentar meminta
energinya berikan pada saya lalu kuteruskan perjalananku ke sekolah. Begitupun
pada saat pulang ritus ini selalu kulakukan.
Dari depan kamarku di lantai 3 aku
bisa menatap dahan2nya yang kokoh dengan sepuas hatiku, mengamati bentuk
daunnya dan selalu mencoba mengira2 berapa meter tinggi pohon ini. Pucuknya
masih kita2 5 meter keatas jadi kalau misalnya bangunan lantai 3 tinggginya 20
meter maka pohon gula ini 25 meter atau mungkin lebih. Kalo sore hari situasi
pohon ramai sekali, ramai suara burung bersahut sahutan. Dari dalam kamar suara
itu seperti musik pengiring tidur, makin menjadi ramai sekitar pukul 5 sampai 6
sore, mungkin ratusan burung yang lagi bertengger di dahan pohon dan bersama2
mrk saling menyapa sama lain. Suatu hari sy pernah mencoba untuk menghitung
jumlah burug yang lagi bertengger, yang nampak hnya burung nuri karena paruhnya
berwarna jingga terang. Si paruh jingga ini banyak sekali dan membuat sy
bingung. Mereka melompat2 kian ke mari sehingga niat itk menghitung jumlah
burung hilamg dan berganti dengan menikmati cara mereka meloncat diantara
dedaunan.
Pada saat tertentu warna daun pohhon gula menjadi hijau terang bahkan
hijau sperti pucuk pisang, kalo sudah begitu artinya musim hujan sudah tiba.
Kadangkala daunnya jadi coklat dan rontok sehingga depan kamarku menjadi banyak
daun. Kehadiran pohon ini menjadi hiburan tersendiri bagiku. Aku bisa berdiri
betah berlama2 di depan kamar hnya untuk bercakap2 atau sekedar menatap bulan
yang mengintip diantara dedaunan. Pernah sy diceritain kalo pohon gede ini
punya penghuninya, iya kataku burung penghuni tetap ditambah tokek dan musang.
Sering kutangkap dengan mataku ekor musang yang lagi meloncat ke arah pohon
mangga disebelahnya. Musang kan memang mengincar mangga matang, kadang juga ada
kucing, bahkan ular katanya pernah ada tapi aku tak pernah ketemu. Ah gak
maulah aku ketemu ular sungguh aku tak mau, ku takut padamu.
Begitulah pohon
besar ini menjadi temanku sehari2, aku bisa bercerita apa saja padanya, aku
bisa marah2 dan bahkan tersenyum manis padanya. Kadang2 kalo ada waktu di sore
hari maka kuberjalan2 di bawah rindangnya sambil mengamati rumput atau pohon
kamboja kuning atau rambutan yang jarang berbuah. Pernah kutanya rambutan
mengapa kamu enggan berbuah, jawab rambutan karena kurang terkena matahari.
Kutahu sekarang hai pohon besar dirimu menghalangi sinar matahari untuk sampai
ke pohon rambutan.
Begitulah sampai dengan detik ini kami masih bersahabat,
lewat cabang2nya dia mengajarkan aku untuk selalu memberi ketenangan bagi siapa
yang datang, lewat suara burung yag riuh rendah tiap sore ia ingin supaya diriku
tetap bergembira walau kepenatan selalu datang, suara burung memberi rasa lega
dan energi baru pada jiwaku yang letih karena dimangsa karya sepanjang hari.
Komentar