Paris
Paris pernah menjadi tempat tinggalku
kurang lebih seminggu. Paris yang hanya pernah kudengar namanya, hanya pernah
kulihat di televisi atau film, atau melihat gambarnya di buku2 mode, kini
terbentang di depan mataku. Tak pernah kubayangkan dalam hidupku bahwa suatu
saat nanti saya akan berjalan2 di kota Paris, keluar masuk toko dan taman yang
begitu banyak di sana.
Taman di Paris sungguh indah. Berisi
tanaman2 dan bunga yang hanya hidup dan cocok di negeri yang memiliki 4
musim. Bangunan2 kuno dan besar serta indah tak terhitung banyaknya.
Perkenalan pertama dengan kota Paris
adalah Katedral Notre Dame, memasuki katedral ini serasa jiwaku bersimpuh di
hadapan sang Mahakuasa. Betapa tidak, bangunan dengan tiang kokoh dan penuh
ukiran entah didirikan tahun berapa mampu membelai jiwaku. Di depan
sana ada altar besar dengan para petugas liturgi yang sedang menyanyikan lagu
masa paskah. Suara anak muda itu sangat bagus. Saya yang
kadang duduk di gereja dengan tidak fokus, pada saat itu
menaruh perhatian penuh pada musik yang dimainkan, pada suara yang merdu dan
bersahut2an. Batinku sibuk bercerita tentang hal ini, betapa Tuhan baik, aku
diberi kesempatan untuk menikmati keindahan bangunan besar dan keren seperti
ini.
Pandanganku mengarah ke jalan masuk
Katedral Notre Dame ini, kulihat seorang biarawati dari pakaiannya tentu saja,
usia tua memegang sebuah mangkok dan duduk di pinggir pintu. Orang yang keluar
masuk menyempatkan diri untuk memberi sedekah di mangkuk
itu.
Di Paris juga untuk pertama kali
saya mengenal seorang suster tua, suster rekan se Uni Roma
denganku. Begitu tuanya sampai kami tidak tega melihatnya, ternyata dengan usia
segitu beliau ditugaskan oleh komunitasnya untuk menjemput kami. Ya Tuhan,
seorang tua tidak pandai bahasa Inggris disuruh untuk menjemput rombongan tamu
dari luar negeri. Beliau hanya bisa berbahasa Perancis, sedangkan kami sendiri
hanya bisa berbahasa Inggris seperlunya saja. Unik dan sangat menarik bahwa
perjalanan kami selanjutnya menuju ke rumah yang jauh dan harus masuk dalam
trem atau kereta bawah tanah dengan minim bahasa tapi penuh dengan aura kasih
dan sayang. Sang nenek memandu kami dengan bahasa cinta.
Beliau menunjukkan
dengan jarinya yang sudah keriput dimakan usia tempat2 perhentian
kereta, dan kami diminta untuk menghitung stasiun agar begitu kereta
berhenti kami segera turun. Maka perjalanan itu menjadi ajang hitung2an
perhentian. Sang nenek memperhatikan kami dengan wajah ceria, ia
gembira karena penjelasannya tentang stasiun dan rumah dapat kami pahami walau
dengan bahasa cinta.
Turun dari stasiun terakhir tidak begitu
saja beres. Stasiun Paris yang super sibuk dengan begitu banyak
orang hilir mudik membuat kami bingung, ini orang segini banyak ngapaian aja ya
mereka. Tapi tidak untuk si nenek , dengan lincah ia membawa kami keluar dari
keruwetan stasiun lalu mengejar bis untuk bisa sampai di rumah.
Tiba di kamar setelah
sendiri saya merenungkan kembali, cinta Tuhan yang begitu
besar yang menggerakkan orang2 yang mencintai kami, termasuk sang nenek
membuatku untuk terus melambungkan rasa syukur ini. Sampai sekarang
masih terbayang wajah si nenek. Semoga ia sehat dan bahagia di masa
tuanya.
Kesempatan untuk mensyukuri anugerah Tuhan saya timba kembali ketika diberi kesempatan mengelilingi kota Paris dari sungai Shine. Ah sungai ini hanya pernah kubaca namanya dari novel2 percintaan remaja atau dari roman2 cerita cinta para pemuda dan pemudi yang sedang dimabuk cinta. Untuk turun ke kapal yang akan membawa kami berkeliling , kami bertemu dengan jembatan yang sangat ajaib menurutku. Kami dianter oleh seorang suster yang sedikit lebih muda dibandingkan dengan yang kemarin menjemput di Stasiun. walau sudah agak berumur tapi ia sigap dan lincah berjalan, naik turun bis
Di sepanjang pagar jembatan bergantungan ribuan bahkan mungkin jutaan gembok. Oh saya ingat saya pernah membaca tentang hal ini. Ini namanya gembok cinta. Orang2 yang saling mencintai dan hendak menikah mereka akan datang ke jembatan ini membawa gembok dan anak kunci. Pada gembok2 itu telah tertulis nama mereka. Gembok akan dikunci lalu kuncinya dibuang ke sungai Shine. Wow...sangat romantis. Artinya bahwa cinta mereka berdua akan tetap selamanya, tak akan ada seorangpun sanggup membuka kunci hati , karena kuncinya telah dibuang ke sungai.
Cukup lama
saya berdiri diatas jembatan sambil memegang gembok2 itu sambil sesekali
membaca nama2 yang tertera di situ. Saking terlenanya nama saya sampai
diteriakin oleh teman2ku yang sudah hendak naik ke kapal. Ahayyy....kuberlari
menuruni tangga biar segera mungkin tiba di pinggir kapal yang akan membawa
kami jalan2. Mukaku penuh sukacita, lalu sang pemimpin rombongan
bertanya pada saya, kuncinya sudah dibuang ke sungai
neng? Hehehe.....wajah sumringah kutunjukkan untuk
jawaban atas pertanyaan ini. Tapi dalam hati kujawab sendiri, gembok
dan kuncinya tak perlu kubuang ke sungai karena telah terpatri dalam jiwaku,
cintaku hanya tertuju padamu Tuhan.
Mengeliling kota Paris dari sungai
besar,”bersih dengan kapal yang juga besar,”rapi dan bersih. Ada juga
pemandunya, sang pemandu sibuk menjelaskan tempat2 atau hal lain seperti nama
gedung, jalan raya, bangunan tua, makanan khas dll tapi semuanya dalam bahasa
Perancis. Saya memilih duduk di bagian atas kapal biar bisa
menikmati pemandangan dengan lebih jelas. Memang benar dari kejauhan berdiri
tegak menara Eiffel dengan gagahnya ( suatu saat nanti akan kuceritakan tentang
menara itu) lama kutatap menara itu sampai seorang teman menepuk pundakku, “
besok kita akan ke sana” lihat yang lain.
Duduk di bagian atas kapal membawa penderitaan tersendiri, angin sangat besar memporakporandakan baju dan shall kami, belum lagi dengan banyaknya orang yang sedang mengambil gambar membuatku kurang menikmati perjalanan ini. Maka kuputuskan untuk turun ke lantai bawah kapal. Di lantai bawah pemandangan menjadi lebih berkesan karena kita tidak terganggu oleh angin nakal. Bagian bawah kapal ini seolah2 berada dalam kotak kaca dan pada musim panas ada pendingin ruangan.
Sungai Shine menjadi kenangan
indah karena belum tentu ada kesempatan kembali ke Paris lagi. Tuhan memberiku
kesegaran, memupuk kembali jiwaku yang penuh dengan kesibukan pekerjaan untuk
sekedar menimba kekuatan baru. Jiwaku memuliakan Tuhan......
Komentar