Panggilan Itu Perubahan Yang Keren
Keluarga saya itu Katolik asli, artinya
sejak awal lahir di dunia saya sudah tahu dengan pasti bahwa saya beragama
Katolik. Lahir dari keluarga yang sangat Katolik membuat saya tidak asing
dengan kegiatan gereja walaupun tidak banyak kami sekeluarga terlibat dalam
kegiatan di gereja.
Walau demikian saya mengingat dengan baik
apa saja yang kami lakukan di rumah sehubungan dengan berdoa dan kegiatan
rohani lainnya. Dari kecil kami sudah diajarkan untuk berdoa bersama saat makan
di meja makan. Jika ada yang belum hadir untuk makan maka salah satu dari kami
harus memanggil untuk segera makan. Petugas doa makan diatur secara bergiliran
dan kayaknya hanya kami yang kecil, kakak-kakak ogah bertugas, mungkin mereka
berpikir, giliran mereka sudah berlalu saat ini adik-adiknya. Nah si petugas doa
ini harus menunggu dengan setia sampai makan selesai supaya ia bisa menutup
makan. Parahnya kalau di rumah kedatangan tamu, maka acara makan di meja itu
bisa berlangsung lama, maka seperti biasa si petugas duduk sambil mengantuk. Ia
tidak boleh tidur karena pasti akan dibangunkan untuk berdoa.
Dari kecil saya memang memiliki keinginan
untuk mengetahui kehidupan di biara, entah mengapa. Kebetulan rumah orangtua
saya berdekatan dengan gereja, demikian juga sekolah sehingga tiap ke sekolah
kami pasti melewati gereja. Kadang bertemu dengan beberapa pastor, berjumpa
dengan beberapa suster. Saya pikir perjumpaan itu membuat niat saya untuk
mengenal kehidupan mereka semakin menggebu.
Ketika masuk sekolah menengah atas saya
minta kedua orangtua saya untuk memperbolehkan saya untuk sekolah di luar
daerah, itu artinya saya harus tinggal di asrama. Kebetulan juga nilai-nilai
saya baik sehingga bapak dan ibu mengijinkan saya untuk tinggal di asrama.
Tinggal di asrama membawa banyak pengaruh dalam hidup saya. Saya jadi paham
bagaimana hidup bersama yang sebenarnya, saya bisa bertenggang rasa dengan
orang lain, saya bisa menjadi pendengar yang baik, saya menjadi lebih paham
akan sebuah kerja sama antar teman bahkan saya lebih mengerti tentang sebuah
kepemimpinan. Kebetulan di sekolah dan di asrama saya menjadi salah satu
pengurus sehingga memudahkan saya untuk belajar bagaimana bekerja sama dengan
orang lain.
Memasuki kuliah ternyata Tuhan menghendaki
saya harus mondok di asarama bersama banyak teman dari berbagai daerah di
Indonesia. Bertemu dengan banyak orang dari berbagai daerah memampukan saya
untuk segera mungkin menyesuaikan dir. Tidak memakan waktu lama saya akhirnya
mapan dengan banyak teman dan masa belajar itu saya kenang sebagai sebuah
pengalaman yang indah dalam hidup.
Dari pengalaman sederhana ini dengan hidup
bersama di asrama dengan banyak orang dari berbagai latarbelakang keluarga dan
budaya menjadi dasar bagi saya untuk memikirkan suara Tuhan yang sering
mengusik hati saya sekian lama. Saya mengerti bahwa pengalaman idup bersama ini
memberi dasar dan pijjakan kuat untuk saya untuk melangkah hidup dalam biara.
Pengalaman awal masuk dalam biara berawal
dari tangisan mama ketika saya minta ijin untuk itu. Jawabannya waktu itu,
tanya bapakmu saja. Maka ketika ada kesempatan saya diajak bapak ke kebun (juga
bersama Mama). Saat di kebun itu bapak bertanya dengan perlahan, saya dengar
dari mama kamu mau masuk biara?
“Iya” jawabku spontan
“Mengapa” bapak bertanya lagi
“Saya juga tidak tahu dengan pasti apa
alasannya”, waktu itu begitu jawaban saya kepada beliau. Kepada bapak kita
harus memberi jawaban atau alasan yang jelas ketika ia bertanya. Maka ketika
setelah menjawab pertanyaan beliau saya jadi bingung sendiri, bagaimana kalau
ia bertanya lagi apa yang harus saya jawab?
Ternyata baik bapak maupun Mama mereka
tidak bertanya lagi tapi saya mendengar sebuah kalimat yang disampaikan bapak
dengan pelan tapi pasti. “ Hidup membiara itu bukan sebuah panggilan yang
main-main atau hanya coba-coba. Silahkan ikuti kata hatimu dan yakin
bahwa ini panggilan untuk selamanya dan bukan hanya sementara. Bapak
mendukungmu karena sudah sekian lama bapak dan mama berdoa agar ada seorang
dari anak bapak dan mama mau hidup dalam membiara menjawab panggilan Tuhan.”
Ingat ya bahwa ini bukan coba-coba” Dari jawaban itu saya paham, oh ternyata
orangtua saya selama ini berdoa mohon panggilan untuk anak-anaknya.
Perlahan tapi pasti saya memupuk panggilan
itu setelah mendapat restu dari orangtua. Mama sibuk menyiapkan beberapa
keperluan saya, sambil sesekali dia berucap,” di biara itu makan seadanya,
tidak kayak di rumah,” atau lain lagi perkataannya yang sering saya dengar,” di
biara kalau sakit tidak ada orang yang menjaga atau mengurusmu”. Soal makan
yang tidak enak ini si mama pernah mendapat laporan dari kakak saya yang nomor
6 ketika ia mengunjungi saya di biara. Dia cerita ke Mama kalau nasi yang
dimasak di rumah kami para calon suster itu berasal dari beras yang jelek dan
memang tidak enak, hehehhe...
Ketika tiba saat pamit mau berangkat, si
Mama menangis sesenggukan di kursi depan pintu rumah mau keluar ke jalan.
Sempat saya bimbang melihat pemandangan itu, tapi dengan cepat si bapak menarik
tangan saya sambil berkata, sudah kita lewat pintu belakang saja, pintu depan
sedang ada setan yang akan menggodamu”. Perkataan ini begitu menacap dalam
ingatan saya sampai dengan saat ini (ketika menulis ini saya terharu mengingat
kedua orang terkasih ini yang sudah bertemu di surga)
Perjalanan selanjutna bersama beberapa
teman, kami memulai menapak jejak panggilan kami mulai dari masa postulan yang
menyenangkan, hati kami gembira, kami dilindungi dan dibimbing dalam suasana
yang kondusif agar kami makin menumbuhkan benih panggilan. Melalui doa bersama,
refleksi, kerja rumah tangga dan karya kerasulan sederhana kami ber 12 berjalan
bersama
Memasuki masa novisiat jumlah kami tinggal
ber 8 karena beberapa diantara kami mengundurkan diri atau lebih tepatnya telah
menemukan eksistensi dirinya. Maka dengan jumlah ini kami bersama-sama kembali
melangkah tertatih-tatih, kami saling cerita dan memberi kekuatan satu sama
lain. Sampai dengan selanjutnya kami tetap bersama dan saat ini kami tinggal
ber 5.
Kami ber 5 yakni Magda, Erna, Ping, Avin
dan saya sendiri saat ini memasuki masa ke 20 tahun kaul pertama kami. Usia
remaja akhir, sebuah usia di mana sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang tidak baik. Belum mencapai usia dewasa kalau hal ini dilihat dari usia
pertumbuhan seorang manusia, tetapi kalau dipandang dari sudut panggilan, 20
tahun sudah menjelang dewasa.
Pengalaman perjalanan hidup
membiara yang panjang ini dipenuhi berbagai macam peristiwa baik suka maupun
duka. Ketika masih di Malang sebagai postulan, kami suka berbelanja di pasar
Klojen dan si bapak tukang sayur atau tukang daging amat hafal dengan tas
belanjaan kami. Kami suka memakai tas kampung kalau ke pasar. Tas kampung itu
adalah tas terbuat dari plastik ukuran besar dan memang suka dipakai kalau
berpergian anatar kampung di desa. Maka ketika berada di pasar Klojen, para
penjual langsung dengan sigap menyediakan kebutuhan kami seperti sayur, ikan,
daging dll lalu langsung diletakkan di dalam tas kampung. Mereka sudah mengerti
seberapa banyak yang kami butuhkan.
Ketika masih menjadi
Postulan di Ruteng, kami sering berkunjung ke kampung-kampung
pedalaman Manggarai dan pernah suatu kesempatan saya bersama Vera, teman saya
anak Jakarta. Ketika berada di kampung, kami melihat malam-malam ayam naik
pohon dan tidur. Untuk saya sebagai anak kampung peristiwa ayam naik pohon dan
tidur ini biasa tapi tidak untuk Vera si anak kota besar ini. Ia begitu
mengagumi dan tak bosan melihat ke atas pohon. Rupanya pemilik ayam dan pohon
yang adalah tetangga kami mengira kami sedang ingin makan malam dengan lauk
ayam kampung, maka malam itu tersedia lauk ayam di meja. Kami malu sebetulnya
tapi tak apalah ini sebagai akibat dari teman saya yang lugu itu. Ayam
hidup bahkan diberikan kepada kami ketika keesokan hari kami kembali
ke biara. Ah ada-ada saja, heheheh...Tuhan baik.
20 tahun dibesarkan dalam biara dengan
segala keindahan dan perjuangan tersendiri melatih saya untuk hidup baik,
terencana, berpikir kritis, mengerti dengan kesusahan orang lain, bisa menjadi
diri sendiri dan diatas segalanya saya semakin mengenal DIA yang mencintai
saya. Dalam beberapa kali kesempatan libur bersama keluarga, saya mendapati
tatapan orangtua yang penuh arti pada saya. Lebih-lebih Mama, ia dengan teliti
meneliti saya dengan matanya. Saya mengerti arti tatapan itu, saya paham, ia
ingin tahu sejauh mana saya bahagia dengan pilihan hidup saya. Ketika saya
sehat dan badan berisi, saya mendapati ia gembira. Mama tidak pernah sekalipun
bertanya perasaan saya atau pertanyaan sejenis yang intinya meneliti. Ia
hanya melihat tampilan saya, menatap wajah saya dan melihat air
muka. Dengan itu sudah cukup memberi pesan kepadanya tentang kebahagian hidup
yang saya alami. Maka setiap kali hendak berlibur di rumah saya harus sehat,
badan saya harus berisi supaya mama tidak kuatir akan hidup saya, hehehhe..
Bahagia itulah yang saya alami sampai
dengan saat ini, saya bisa bekerja dengan seluruh kemampuan yang saya miliki,
saya dapat mengembangkan bakat dan kemampuan saya yang ternyata banyak ini
untuk kebaikan orang lain. Panggilan yang saya hidupi ini ternyata amat keren
karena membawa perubahan yang sangat baik dalam hidup saya. Dengan panggilan
ini saya mengenal banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat plus saya mampu
menyesuaikan diri dengan baik. Saya bisa bersama dengan orang penting atau
pejabat tinggi dalam suatu kesemapatan dan di waktu yang lain saya juga bisa
bergaul akrab dengan masyarakat kecil. Ini sebuah anugerah besar untuk saya.
Berhadapan dengan orang besar dan penting saya tidak merasa canggung demikian
juga ketika saya bertemu masyarakat kecil. Semuanya sama dan baik untuk saya.
Ketika mendapat penugasan dari pembesar,
entah mau ditempatkan di kota besar atau kota kecil, semuanya sama pentingnya
untuk saya, masing-masing tempat mempunyai kegembiraan dan harapan tersendiri.
Ketika saya ditanya, kamu paling suka ditempatkan di mana? Maka jawaban saya
hanya satu,” di mana saja” semua tempat baik dan mempunyai perjuangan yang
spesial.
Panggilan ini mengubah saya, ia membuat
saya dewasa dalam iman, makin mengenal siapa DIA yang mengutus saya dan harus
saya imani. Ia menuntun saya untuk mengerti mana yang baik dan mana yang tidak
baik dalam hidup, mana yang menjadi prioritas dan mana yang tidak. Ini sebuah
perubahan yang keren bukan?
Apakah tidak ada kesusahan dan tantangan
dalam hidup membiara?
Oh, jelas ada, bahkan banyak. Tapi dari
yang banyak itu saya tidak ingin menjadikan ia sebagai penghalang hidup saya.
Justru dari tantangan itu saya dibesarkan, saya menjadi kuat dan memiliki
potensi untuk maju. Semua tantangan itu adalah jalan Tuhan yang baik untuk
membuat saya dewasa. Jalan itu bisa berupa kehidupan bersama dalam komunitas
yang kadang tidak selalu akur, atau kerja di sekolah atau di paroki yang tidak
ada habisnya, atau relasi dengan orang lain yang kadang
membawa cinta yang besar dan eksklusif atau sebaliknya menjauhkan kita
dari orang lain dan Tuhan . Tantangan dan kesulitan itu harus ada, itulah yang
di namakan HIDUP. Tidak ada di dunia ini orang hidup senang saja tanpa
kesusahan, tidak ada seorangpun manusia yang setiap hari gembira. Ada saat di
mana bisa merasa sedih, sakit dan kehilangan harapan. DI saat itu ada Dia yang
membantu dan memegang tangan kita dengan kasih sayang.
Maka di tahun yang ke 20 ini saya
bersyukur pada DIA yang memberi saya teman-teman yang baik, keluarga yang keren
yang menyediakan tanah yang baik tempat pertama kali benih itu bertumbuh dan
selanjutya seluruh komunitas di mana saya pernah bertugas, mereka membuat saya
bertumbuh dan menikmati kasih Tuhan yang tidak ada habisnya. Terima kasih untuk
Magda, Erna, Avin dan Ping teman seperjalanan panggilan yang asyik ini.
Komunitas dan semua orang yang mencintai
saya merupakan lahan subur tempat saya bisa bertumbuh. Satu hal yang amat
penting adalah doa orangtua dan keluarga. Tanpa doa mereka, saya tidak bisa
berjalan sendiri. Kepada sekian orangtua yang bertanya pada saya tentang hidup
membiara, saya selalu menjawab dengan pasti, “doa orangtua itu amat penting
untuk panggilan hidup membiara seorang anak, maka mulailah berdoa.” Kami tidak
begitu saja menjadi seperti ini tanpa doa mereka. Tuhan semoga bapak dan mama
di surga berbahagia melihat kami anak-anaknya hidup bahagia di dunia di jalan
panggilan kami masing-masing. AMIN
Komentar