Anak Nelayan
Rumahku berada di bibir pantai di sebuah
desa di pulau kecil yang elok dan cantik. Bagian bawah rumah sudah ada air laut
dengan ombak kecil-kecil yang memecah pantai. Jika sedang ada gelombang besar
maka akan terdengar suara air memukul-mukul pondasi belakang dapur yang
tingginya kira-kira 6 meter. Ayahku sengaja membuat pondasi tinggi agar jika
musim badai atau paling kurang ketika air pasang dan gelombang tinggi rumah
kami tidak kemasukan air. Gelombang pasang biasanya ketika hari mulai menjelang
sore atau kadang-kadang juga pagi hari.
Pada sore hari kami biasa memakai
kesempatan untuk duduk-duduk di meja dapur sambil memandang laut lepas yang
nampak dari jendela besar di dapur. Jendela dapur memang sengaja di buka lebar
pada pagi hari untuk sirkulasi udara dan juga untuk memandang sampan atau kapal
yang hilir mudik di laut. Saya bersama adik-adikku suka sekali duduk di meja
dapur sambil memandang ke laut dan bercerita banyak hal tentang laut.
Kakak-kakakku suka memandang ke laut untuk memastikan waktu yang tepat untuk
memancing ikan. Kakak-kakakku ini sangat pandai memancing dan sering kali
mendapat hasil ikan yang menakjubkan. Seringkali saya bertanya-tanya dalam hati
apa sih enaknya duduk pancing berjam-jam menunggu alat pancingnya bergerak
karena si ikan mulai mengerogoti umpannya. Apa sih nikmatnya duduk bengong di
sampan sambil menunggu ikan. Tapi pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah saya
ungkapkan kepada mereka.
Kembali lagi ke jendela dapur yang lebar,
kadang-kadang ibuku mencuci beras lalu airnya dibuang ke laut, sebetulnya hati
kecilku tidak mengijinkan hal itu terjadi tapi ibuku seringkali mengatakan
bahwa air cucian beras sangat di sukai oleh ikan, maka sampai dengan sebesar
ini saya tetap mempercayai bahwa air cucian beras sangat digemari oleh ikan di
laut.
Karena tinggal bersama laut, kami menjadi
tahu banyak aktivitas laut pada pagi, sore dan malam hari. Kalau pagi kami
dapat menyaksikan nelayan-nelayan pulang ke darat dengan sampan mereka yang
kecil tapi cantik dan membuat mata senang memandangnya. Para nelayan itu sibuk
membersihkan hasil tangkapan mereka tepat di pantai agak menyamping dapur rumah
kami. Ada juga yang agak jauh di sebelah timur dekat pelabuhan laut di kota
kami. Beberapa kali kami disuruh ibuku untuk turun ke pantai untuk membeli
hasil tangkapan nelayan untuk dimasak dan kami bisa jadikan sarapan sebelum
berangkat ke sekolah. Biasanya ibuku cukup merebus ikan segar itu dengan bawang
putih lalu menambahkan sedikit garam dan menjadi sangat enak di lidah. Sup ikan
sederhana ini jika dimakan pakai bubur akan terasa sangat enak apalagi jika
ditambah sedikit kecap manis. Hampir tiap hari sarapan kami ke sekolah ya
seperti ini, sesekali ibuku membuat nasi goreng sederhana dan kami semua dengan
senang hati menyantapnya.
Karena seringnya ke tempat para nelayan
yang baru turun dari pantai membuat kami jadi mengenal beberapa di antara
mereka. Pemandangan itu menjadi hal yang biasa untuk kami karena setiap hari
pasti terjadi. Kalau sore hari agak menjelang gelap kami biasa melihat para
nelayan bersiap-siap untuk turun ke laut. Sampan disiapkan bekal makanan
secukupnya dan lampu petromax juga turut dibawa serta. Saya pernah bertanya
pada ayahku mengapa para nelayan itu perlu membawa-bawa lampu petromaks ke
laut, beliau selalu menjawab dengan kalimat yang pendek dan kalem, lampu itu
gunanya untuk penerangan di laut, ada ada beberapa jenis ikan yang
suka dengan cahaya lampu. Biasanya mereka akan mendekat ke lampu dan dengan
mudah para nelayan itu menangkapnya. Sejak awal saya heran dengan penjelasan
ayah ini, lalu ibuku memberi penjelasan yang lebih masuk akal, lampu itu
menjadi sahabat para nelayan, gimana kalau tidak ada lampu, maka situasi laut
akan gelap gulita hanya mengandalkan sinar bulan atau kelap kelip bintang,
sangat menyeramkan bukan? Para nelayan dengan penerangan lampu dapat melakukan
beberapa aktivitas sebelum mulai mancing, misalnya makan dulu, atau menyiapkan
umpan, beres-beres yang perlu dan lain sebagainya.
Situasi pantai kalau malam hari, biasanya
kami melihat banyak lampu kelap kelip baik itu dari sampan dan kapal para
nelayan atau juga dari rumah penduduk di pulau seberang. Selat kecil yang
membentang antara dua pulau memampukan kami untuk memandang di kejauhan sambil
merenung atau membayangkan kesibukan masyarakat di pulau seberang. Cerita
tentang pulau di seberang rumah kami ini sangat menarik, pulau ini penghasil
garam utama, sehingga menjadi harapan bagi masyarakat pulau sekitar, ada juga
buah semangka yang dalamnya merah, putih bahkan ada juga warna kuning. Kalau
lagi tidak enak badan saya suka makan semangka sebanyak-banyaknya lalu tidur.
Konon karena semangka mengandung air maka tubuh akan menjadi adem dan hawa
panas menghilang lalu penyakit terbirit-birit lari meninggalkan badan,
heheheh... Pulau ini juga suka menghasilkan buah jambu merah, kalau sedang
musim, banyak orang menjual di pasar dekat rumah kami. Buah jambu merah ini
sangat cocok dibuat juice atau dimakan begitu saja. Kalau dijuice maka perlu
dikasih gula supaya ada rasa manis, tapi kaalu dimakan begitu saja juga enak
kok.
Tentang garam yang saya tahu sejak masa
kecil saya, warnanya putih banget. DI pasar di deket rumah saya menemukan orang
berjualan garam di pasar. Garam dimasukkan ke dalam sokal ( ukuran untuk
menjual). Ada yang ukuran kecil dan ada yang ukuran besar. Saya tahu dengan
pasti garam yang dijual di pasar kampungku itu adalah garam asli buatan
sendiri, dimasak sendiri diatas tungku api dengan menggunakan kayu bakar yang
banyak. Proses masak garam ini lumayan lama. Saya sendiri tidak tahu persisnya
sih tapi menurut cerita seorang kawan yang orangtuanya pengusaha garam lokal
mengatakan proses masak garam sangat menguras tenaga. Mesti disediakan kayu
bakar yang banyak, panci atau periuk yang dipakai harus benar bersih supaya
garam tidak menjadi hitam (oh ya garam di kampung ku itu putih2 bersih
semuanya). Setelah itu mulai proses pegepakan ke dalam sokal dan seterusnya
dijual. Kadang saya berpikir hasil yang dicapai tidak sebanding dengan tenaga
yang dikeluarkan. Tapi begitulah mereka tetap berusaha untuk bisa tetap hidup.
Sebagai anak nelayan yang besar bersama
laut, saya sering kali menyaksikan kakak-kakak saya memancing di pantai. Mereka
kalau sudah memancing, bisa lupa semuanya. Yang paling membuatku jengkel adalah
ketika mereka pulang dari laut, mereka pasti membawa banyak ikan, lalu
ikan-ikan itu ditinggal tidur sama mereka, ya jelaslah yang harus membersihkan
dan mengurus ikan hasil pancingan itu adalah saya dan adik-adik saya. Kami
harus membersihkan ikan-ikan itu, lalu menyimpannya dengan baik pula. Zaman saya
kecil, di rumah kami belum ada kulkas sehingga ketika harus menyimpan sayuran
atau ikan dan makanan lain, kamu harus mengaturnya baik-baik. Ikan dikasih
garam secukupnya, sayuran kami letakkan di dekat gentong air. Ikan yang sudah
dikasih garam dimasukkan dalam kantong plastik atau diletakkan di atas nyiru
dan ditutup pakai daun pisang.
Tempat ikan hasil pancingan
kakak-kakak saya ini, kami membuatnya
sedemikan rupa sehingga ikan ini juga bisa dijadikan lauk untuk esok hari.
Kakak2 saya suka memancing pada jam sore hari setelah mereka pulan gkerja,
sehingga kadang sampai malam di laut. Nah karena hari sudah malam, ikan-ikan
itu harus disimpan untuk keesokan harinya, tapi esoknya lagi pasti hasil
pancinganya juga banyak.
Begitulah setiap hari kami bergaul dengan
ikan-ikan segar yan gmeruapkan anugerah Tuhan untuk kami sekeluarga. Pernah ada
kejadian, kakak saya pergi memancing dengan perahu sampai di laut dalam yang
jauh dari rumah. Kebetulan setelah kakak saya di tengah laut, hujan dan angin
turun dengan derasnya, apalgi hari sudah malam. Kedua kakak saya ini membuat
kami semua di rumah cemas tidak kepalang. Ibu saya saya keluar masuk rumah
dengan raut wajah cemas, bapak juga begitu, walau beliau bergaul akrab dengan
laut, tetapi ketika anak-anaknya belum pulang dari laut, ia nampak cemas juga.
Kami semua menunggu mereka dalam rasa kuatir, hujan tak kunjung berhenti.
Setelah sekian lama menanti, mereka muncul tepat pkl 21.00 sambil menggigil
kedinginan dan membawa ikan banyakkk sekali. Rupanya ketika hujan dan angin
mulai beraksi, mereka sudah berniat untuk membereskan peralatan mancing dan
segera mengarahkan perahu untuk pulang, tetapi tenyata ikan semakin banyak yang
nyangkut di umpan mereka, sehingga mereka sendiri jadi lupa untuk pulang dan
lebih memilih untuk terus membuang umpan mereka. Saya memperhatikan wajah ibu
dan bapak, mereka juga sangat gembira dan segera mengucap syukur pada Tuhan.
Peristiwa ini mengajarkan banyak hal
kepada saya, sebagai anak nelayan yang hidup di pantai, saya harus belajar
untuk mengerti sahabat kami yakni angin, hujan, gelombang laut dan banyak hal
lain lagi. Saya juga harus belajar akrap dengan perahu kecil yang biasa dipakai
oleh bapak atau kakak-kakak ketika pergi memancing, perahu kecil ini punya dua
kayu sebagai alat untuk mengatur keseimbangan. Perahu ini tidak punya layar,
jadi hanya bergantung dayung yakni sejenis kayu yang dipakai untuk mendayung
perahu. Cerita tentang perahu selalu menarik, kadangkala sepulang
sekolah kami bermain di pantai, dan kakak-kakak saya suka sekali mengajak
kami anak perempuan untuk naik perahu dan mereka mengayuhnya agak ke tengah,
kira-kira kedalaman air sampai di leher. Sampai di tengah laut, perahu mereka
miringkan bahkan sampai membalikkan perahu. Tentu saja para penumapngnya bergelimpangan
jatuh ke dalam laut. Bagi yang bisa berenang ya tidak apa-apa. Tetapi kalau
yang belum bisa berenang maka bisa mendelep. Kakakku tahu kalau saya belum bisa
berenang maka mereka suka sekali menggoda saya dengan membalikkan perahu,
begitu saya sudah hampir mau tenggelam atau mendelep-delep
barulah mereka menolong saya, membopong saya masuk ke dalam perahu.
Walaupun mereka sekian sering dimarahi tapi mereka tak kapok-kapoknya, tapi
saya juga ya aneh, sudah tahu kalau kakaknya suka menggoda, tapi setiap diajak
naik perahu saya pasti mau.
Sebagai anak nelayan yang hidup dipantai,
saya sangat kenal berbagai jenis ikan, ada ikan tertentu yang bisanya hanya
hidup di laut dalam. Ikan laut dalam adalah istilah kolektif untuk ikan yang
hidup dalam kegelapan di bawah permukaan perairan yang disirami matahari yaitu
di bawah epipelagik atau zona fotik dilautan, ada juga ikan laut dangkal yang
umumnya biasa ditangkap dengan gampang oleh para nelayan untuk dijual atau
konsumsi publk. Saya sendiri bisa membedakan jenis ikan yang dapat hidup di dua
area ini. Ciri-cirinya kalau ikan laut dalam adalah, mereka memiliki tubuh
ramping, tidak memiliki sirip atas dan memiliki warna yang mencolok. Sedangkan
ciri ikan yang hidup di laut dangkal adalah mereka memiliki tubuh yang agak besar,
punya sirip atas dan cenderung jarang bergerak.
Semoga spirit berani, cinta alam dan laut
yang ada dalam diri para nelayan juga melekat dalam diri saya.
Komentar