Cerita Vatikan


Gerbang rumah generalat di Roma ini memiliki dua pintu . Satu pintu gerbang utama yang besar, bisa masuk mobil dan bisa dibuka secara otomatis dengan remote control, atau bisa juga dari jarak jauh, seperti dari portir misalnya. Ketika kami hendak masuk atau keluar  pintu ini sudah bisa langsung terbuka. Pintu yang satu lagi adalah pintu kecil seukuran orang untuk keluar dan masuk. Masing-masing kelompok dalam rumah besar ini memiliki kunci sendiri, jadi ketika kita mau pergi atau pulang tidak merepotkan orang lain. 

Kami biasanya keluar dan masuk melalui pintu ini kecuali jika petugas portir yang sedang bertugas melihat kami dari kamera pantau maka dia langsung membantu kami membuka pintu gerbang besar. Keluar dari gerbang ini kami langsung berhadapan dengan jalan besar dua arah Via Nomentana. 

Di jalan ini bersiliweran kendaraan baik bis besar maupun kendaraan kecil. Akses ke mana-mana sangat gampang, kami tinggal menunggu bis yang kami maksud lalu ketika bis nya nyampe maka bergegas naik. Oh ya di sekitar Via Nomentana ini ada juga beberapa orang pengemis yang selalu ada di situ, mereka suka menadahkan tangan kepada orang yang mereka temui. Saya beberapa kali memberi tapi karena terlalu sering akhirnya saya dinasihati supaya tidak usah memberi lagi. Sepertinya di lampu merah jalan ini mereka berdiri dan sudah ada pembagian tugas yang jelas, kayaknya lagi mereka sudah saling kenal, apakah karena sering bertemu di tempat ini jadi saling kenal? Ataukah mereka ini satu keluarga? Perempatan ini ada 4 lampu traffic light, yang dua sebelah Timur dan dua lagi sebelah Barat. Yang timur biasanya ada dua ibu, yang satu tua dan satu lagi agak muda, mereka biasanya memakai penutup kepala dan baju panjang, setiap melihat mereka saya selalu ingat cerita-cerita John Anderson ibu-ibu dan rumah masa lalu di Eropa, selalu. Bagian barat di dua traffic lainnya ada dua bapak, dan setiap hari begitu setia berada di tempat itu, seperti sudah ada pembagian lahan kerja.

Kalau ke Vatikan kami suka menyegat bis no 90 lalu turun di Termini, naik lagi yang nomor 40 lanjut ke Vatikan. Bis di sana mirip Trans Jakarta, panjang dan bagus. Sopirnya punya ruangan tersendiri. Bedanya dengan Trans Jakarta adalah sopir hanya ter[isah dengan sebuah sekat. 

Di dalam TJ  tidak ada tempat ceklok tiket, sedangkan bis yang saya ceritakan ini di dalamnya ada alat yang berfungsi sebagai tempat penumpang ceklok tiket. Begitu kita naik langsung ke alat itu, ceklok lalu ketika sampai tujuan kita  sudah langsung turun. Rupanya ongkos untuk semua jurusan sama. 

Tiket ini bisa kita beli per hari, atau perjam atau bisa juga kalau gak mau repot tiap hari beli tiket, maka kita bisa beli yang permanen dan tinggal mengisi pulsa. Untuk warga setempat mungkin sangat perlu tiket permanent tapi kalau untuk para pelancong atau turis seperti saya lebih baik pilih tiket perhari atau per tiga hari (Kalau tiap hari rencana keluar jalan), bahkan bisa juga beli per tiga jam. Jadi kita mesti bisa mengira-ngira, berapa banyak waktu yang saya perlukan untuk bepergian seperti ini, mengapa demikian karena jika limit waktu tiket habis maka kita dengan sendirinya tiket itu tidak berlaku lagi. 

Pak Supir tidak akan memeriksa tiket para penumpangnya, hanya sekali sekali ada pemeriksaan oleh petugas.  Bahkan bisa dikatakan  sangat jarang memeriksa tiket kita, tapi sekalinya diperiksa dan kena maka kita akan kena denda, dendanya amat mahal lagi. Maka saran saya, jangan pernah mencoba untuk tidak ceklok ketika naik bis atau trem, atau jangan sekali sekali tidak membawa tiket ketika bepergian. Sekali dua kali mungkin kita lolos dari pemeriksaan tapi di mana-mana perbuatan jelek pasti akan ketahuan. Lagi pula system di negara maju sudah sangat baik, maka jika kita membuat kesalahan di suatu line, maka secara online nama kita akan masuk dalam daftar hitam.

Dalam bis seperti ini saya bertemu banyak orang dengan beraneka perilaku dan sikap. Saya pernah bertemu sekelompok anak muda yang baik sekali, mereka suka memberi tempat duduk kepada orang yang lebih tua, bahkan mereka suka menyapa kita dengan sopan, atau paling kurang mereka memberi jalan kepada kita ketika hendak masuk dalam bis yang penuh penumpang. 

Kadang saya ketemu penumpang muda berpasangan yang sibuk berpacaran tanpa peduli dengan orang di sekitar mereka, hehehe… lagi-lagi beda budaya. Walau demikian hampir pasti banyak orang yang mau menolong, ketika kesulitan menemukan arah atau alamat, pasti ada banya orang yang mau tolong, atau ketika  kesulitan ke mesin ceklk tiket, maka orang di dalam bis pasti mau membantu. Menurut saya, semua orang itu baik sejauh kita juga baik pada mereka atau paling tidak jika saya berpikir positif maka dengan sendirinya bantuan akan datang mengalir pada saya.

Terhitung 9 kali saya ke Vatikan. Pertama kali ke sana waktu Minggu Palma. Pagi-pagi sekali kami sudah harus bangun dan menyiapkan diri untuk berangkat ke sana. 

Menunggu bis jurusan Vatikan juga bukan persoalan yang mudah, karena hampir pasti selalu penuh orang. Ketika sampai, saya melihat antrian masuk ke dalam VAtikan sudah sangat panjang, otoritas setempat menyiapkan banyak tempat untuk mengantri dengan fasilitas security cek berupa logam detector seperti kalau kita mau masuk bandara atau kalau kita mau masuk ke satu tempat penting. Hari masih sangat pagi tapi sudah banyak orang yang mengantri, maka saya pun segera mengambil tempat untuk berdiri di dalam barisan para pengantri. 

Sambil berada dalam barisan saya perhatikan teman-teman sesama pengantri, mereka berasal dari mana-mana. Itu terlihat dari warna kulit dan logat serta bahasa ketika mereka berbicara, intinya semua orang ini ingin berada di dalam lapangan St Petrus secepat mungkin. 

Begitu lepas dari pemeriksaan, saya segera berlari secepat-cepatnya untuk mencari tempat duduk atau area duduk paling dekat altar, tapi astaga saya lupa mengambil daun palma yang sudah disediakan di depan pintu, maka saya berbalik lagi mengambil setangkai daun palma dan secepat mungkin mencari tempat duduk. Syukur pada Tuhan, saya mendapat tempat duduk di barisan ketiga dari depan.

Sebetulnya saya pengen sekali duduk di kursi paling depan tapi ah sudahlah, dari tempat saya duduk pun saya bisa mnyaksikan jelas kegiatan di altar sana. Oh ya, daun palem yang di pakai di Vatikan adalah tangkai pohon olive atau pohon zaitun. Ada juga memakai daun kelapa dan palem beneran tapi besar sekali, itupun dikhususkan bagi para petugas liturgi seperti pembawa persembahan atau mereka yang terpilih untuk untuk ikut perarakan bersama konselebran utama yakni Bapa Suci Paus Fransiskus. 

Ketika sedang duduk manis, tiba-tiba ada yang memanggil saya dari depan, tangannya menggapai-gapai kearah saya, eh ternyata dia memanggil saya untuk duduk di depan bersama nya. Ia adalah seorang ibu, tadinya tempat duduk itu milik seorang temannya tapi ternyata temannya berhalangan hadir maka dia meminta saya untuk menempatinya, ah, syukur pada Tuhan, rupanya Ia mendengar doa saya untuk bisa duduk paling depan. 

Maka begitulah pada misa hari Minggu Palma saya duduk paling depan. Selama 2 jam saya duduk menunggu dengan manis, sambil berdoa atau memperhatikan orang-orang di sekitar tempat saya duduk, di depan saya berdiri para petugas keamanan dengan berpakaian jas dan dasi lengkap. Kelihatan mereka sangat gagah dengan kacamata hitam, kacamata hitam digunakan supaya mereka bisa dengan leluasa memandang ke segala penjuru dan memastikan keamanan di setiap lokasi area misa kudus. Ketika menyaksikan kemegahan acara Minggu Palem, saya merasa sangat bersyukur bisa terlibat di dalammnya, peparazi ada di mana-mana, dan mereka dengan leluasa mengambil gambar dan video, menurut cerita beberapa teman, saya kelihatan dalam misa di lapangan St Petrus itu.

Perayaan Kamis Putih

Saya ikut hadir juga dalam misa Kamis Putih, perayaan untuk mengenang perjamuan terakhir Yesus dengan para muridNya. Kali ini misa dilaksanakan dalam Basilika St Petrus yang luas dan megah itu. Seperti biasa untuk masuk dalam Basilika kita harus melewati proses antrian yang amat sangat panjang dan pemeriksaan yang ketat. 

Misa dimulai pukul 16.00 dan kami sudah mulai antri jam 10.00 pagi, bayangkan. Oleh karena itu kami sengaja membawa bekal makan siang, kami bawa roti isi, buah dan minuman dalam dus kecil. Antri diam-diam sambil berdoa Rosario atau mengambil beberapa gambar yang perlu. Ketika sudah tiba dalam basilika, proses mencari tempat duduk pun terasa amat sulit, banyak sekali orang yang memiliki keinginan seperti saya. 

Bagian tengah basilica dikosongkan untuk tempat perarakan para petugas yakni para imam, uskup, kardinal dan bapa suci. Lorong ini kira-kira lebarnya 5 meter masing-masing punya pembatas. Di sebelah pembatas ini diatur deretan kursi untuk para umat yang datang. Saya mendapat tempat yang strategis, paling pinggir pagar pembatas, itu artinya saya dapat melihat dari dekat konselebran utama, dapat mengambil fotonya dengan lebih jelas. Akhirnya dengan lega saya duduk menunggu misa dimulai. 

Beberapa waktu lamanya saya duduk, petugas mulai mengumumkan bahwa perarakan akan dimulai. Yang pertama muncul adalah barisan para misdinar, panjannng banget, lalu diikuti oleh peralatan misa. Yang saya lihat tentang peralatan misa ini adalah kendi atau gentong yang besar dan dalam jumlah yang banyak, diletakkan di atas meja beroda lalu didorong masuk menuju altar utama. 

Jumlahnya banyak loh, saya pikir mungkin gentong-gentong emas ini akan dipakai untuk mengisi air sebanyak mungkin lalu diberkati bapa Paus dan dibagikan ke seluruh penjuru dan bagi siapa yang mau, juga gentong berisi macam-macam minyak yang akan diberkati, entah itu minyak pengurapan orang sakit, minyak krisma dan lain sebagainya. 

Setelah perarakan alat misa beres, muncul para imam yang jumlahnya banyak banget, para uskup dan cardinal dengan pakaian kemegahan mereka. Paling akhir saya melihat bapa suci, beliau berjalan dengan perlahan sambil membawa tongkat. 

Saya pikir beliau ini tinggi gagah, ternyata beliau tingginya pas-pas an saja dan agak bungkuk, barangkali faktor usia membuat penampilan bapa suci jadi seperti tidak tinggi. Saya menatap beliau dengan takjub, orang suci ini begitu nampak kesuciannya, dan saya terharu. Saya ingin sekali memegang tangannya tapi ternyata para pengawal begitu sigap melindungi beliau dari jamahan umatnya, padahal saya hanya ingin menyentuh sedikit saja jubahnya dan mendapat aliran berkat darinya. Tapi tak apalah, dengan melihat dari jarak yang sangat dekat, memandang wajahnya, saya sudah amat brsyukur, tidak semua orang memiliki kesempatan seperti saya yang dapat memandang beliau dengan lega. Semua orang di sekitar saya begitu sibuk hendak mengambil gambar dan lain sebagainya, sedangkan saya hanya tertegun diam memandang beliau tanpa membuat suatu gambar pun.

Jadi Model

Hari Minggu Paskah, saya punya kesempatan untuk hadir lagi di lapangan St Petrus untuk misa hari Raya PAskah, seperti biasa saya rela antri berjam-jam dan begitu melewati logam deketor, saya langsung berlari sekencang-kencangnya mencari tempat duduk sesuai dengan warna undangan yang saya pegang. Oh untuk masuk Vatikan kita harus punya undangan dengan warna tertentu untuk pembagian area tempat duduk. KEbetulan warna undangan saya agak ke depan dan dekat sekali dengan lorong di mana nanti setelah misa Paus akan berkeliling dengan mobil terbuka untuk menyapa dan memberi berkat kepada umatnya. 

Waktu itu hujan turun dengan lebatnya dan udara begitu dingin menggigit tulang, dua jam saya dan teman-teman dengan tabah menunggu di bawah curahan hujan untuk mengikuti misa Paskah bersama Bapa Suci. Tangan serasa beku maka dengan teman kami membagi kaos tangan, yang satu pakai kaos tangan kiri dan yang lain memakai kaos tangan kanan, sedangkan di leher sudah memakai syal tebal tapi rasanya giginya tetap menggerretuk dan mengigil. 

Sebelum misa dimulai saya melihat telah banyak peparazi hilir mudik dan memang kata temanku di Indonesia, waktu misa Paskah di lapangan St Petrus, wajah saya ikut terpampang di televisi, waktu itu saya cuma komentar, ya maklumlah wajah pasaran, peparazi di Italia jarang melihat wajah kayak saya ini, udah item keriting lagi, hehehhe… tapi  memang benar, setelah selesai misa, saya memang melihat wajah saya di sebuah majalah online Catolic News, ternyata memang benar kata saya kalau wajah saya ini membuat orang memberi perhatian karena iba, jadi dengan wajah pucat pasi dan kepala tertutup selendang dan tangan memegang payung biru jadilah saya model sementara di Catolic News.

Setelah selesai misa, saya dan beberapa teman keluar dari tempat duduk, kami hendak mencari tempat paling pinggir dekat lorong, yakni tempat di mana Bapa PAus akan lewat dengan mobil terbuka dan memberi berkat kepada umatnya. 

Saya ingin sekali mendapat berkat langsung dari tangan beliau, walau tidak  menyentuh kepala saya tetapi paling kurang dengan jarak dekat kurang lebih 1 meter lumayanlah. Upaya pencarian tempat ini dihadang oleh pengawal bapa Paus. 

Para pemgawal dengan pakaian khas warna jingga dan ada campuran biru merah ini mendelik kearah, agak melotot. Saya cuman membalas delikan dengan berucap, “ah mas bule, saya ini datang dari jauh dan ingin lebih dekat dengan Bapa Paus, ingin mendapat berkat dari beliau, masa gak boleh sih? Tau gak sih mas bule kalau saya ini datang dari jauh? Dari jauh sekali mas, dan belum tentu saya mendapat kesempatan seperti ini lagi, hehehhee…. 

Peduli amat sama si mas bule, saya tetap berusaha untuk mencari posisi sedekat mungkin dengan Bapa suci. Begitulah perjuangan saya untuk dekat dan memandang bapa suci dengan penuh rasa syukur dan terima kasih.

Oh ya situasi dalam Basilica St Petrus, sangat megah, hampir semua patung orang kudus ada di setiap sudut dinding. Jadi tembok dibuat sedemikian rupa sehingga ada tempat untuk patung orang kudus berdiri. Saya mencari-cari patung St Angela Merici pendiri ordo kami, akhirnya saya ketemu. St Angela terletak di sebelah kiri altar persis tapi tinggi sekali. Maklum langit-langit Basilikia amat tinggi dan luas, sehingga kita agak susah untuk mendongak kepala jika hendak melihat situasi atap basilica. Bangunan gaya gothic dengan ornament-ornamen cantik hasil seni rupa para seniman terkenal. 

Saya tidak bosan melihat semua hiasan dan gambar yang ada dalam Basilica. Begitulah Tuhan menunjukkan caranya pada saya untuk menghargai hasil karya seni para seniman karena dengan seni jiwa kita diperhalus.

Dalam Basilica saya juga dapat berdoa di kapel-kapel kecil yang tersedia, misalnya kapel adorasi yang sangat cantik karena penuuh dengan ornament indah, ada juga tempat doa favorit saya yakni makam Paus Yohanes Paulus II, orang suci abad ini. DI tempat ini saya mendoakan semua orang yang saya pernah janjikan doa, saya bisa berbicara macam-macam sambil memohon agar orang suci ini bisa menjadi pengantara doa saya kepada Tuhan. 

Vatikan, I will came back, entah kapan,  hanya Tuhan yang tahu.
Persis depan altar
                                                   Ini pas misa Minggu Palem belum hujan
Add caption

Daun palemnya gede bukan?

Pengawal cakep

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tours' dan Marie Incarnasi

Gadis KEcil Dari Desa

Mereka Datang Dari Sittard