Sudah 100 Hari
Sudah 100 hari Pa
ke surga dengan tenang, ia telah bertemu dengan Tuhan Yesus dan Bunda Maria
yang ia rindukan selama hidupya, ia telah berjumpa dengan istri tercinta yang
telah 11 tahun lebih dahulu bergegas ke surga untuk menyiapkan tempat bagi
suami dan anak-anaknya.
Waktu itu saya ada kegiatan
di Bandung bersama teman-teman, yakni on
going formation bagi suster-suster muda menjelang medior. Kakakku telepon dan
bilang, minta doa ya untuk Pa, kemarin sudah menerima sakramen perminyakan. Oh,
sebetulnya saya kaget tapi saya bertanya dengan suara pelan, ada apa dengan Pa?
Kok tiba-tiba sekali ada berita ini?
Selama ini saya tidak pernah mendengar Pa
sakit atau punya keluhan-keluhan tertentu. Kalau telepon dan ngobrol dengan
kakakku, paling ia bercerita kalau Pa kakinya lemes, sekarang tidak mau makan
banyak, makannya pun hanya sayur tertentu atau ikan yang dimasak sup, atau
kadang lagi hanya makan sayur daun kelor yang disup dan telor rebus dan
lain-lain. Atau kadang saya mendengar cerita kalau Pa minum susu dan mau makan
banyak, atau makan snack kesukaannya dan lain sebagainya.
Memang sudah agak
lama kira-kira 6 bulan kami sudah tidak berbicara lagi via telpon, penyebabnya
adalah waktu telpon saya yang tidak sesuai dengan jam istirahat, jam makan
bahkan kadang beliau segan menerima telepon saya karena capek atau karena alat
bantu telinganya rusak, dan hanya titip salam saja ke saya lewat kakak.
Setelah mendengar berita
itu, untuk beberapa saat saya diam dan berdoa, semoga sakramen orang sakit yang
Pa terima memberi kekuatan kepadanya khusus di hari-hari ini. Peristiwa Pa
menerima sakramen orang sakit, bukan baru kali ini. Beliau sudah beberapa kali
menerima dan itu atas kemauan dia sendiri, imannya sungguh memberi kekuatan
padanya, setiap kali diurapi minyak orang sakit ia berangsur sembuh sehingga
kadang saya berpikir Pa lebih percaya sakramen ini daripada obat-obatan dari
dokter.
Saya bilang kepada kakakku, iya saya pasti akan berdoa untuk Pa, Tuhan
pasti akan mmeberi kekuatan padanya. Besok pagi kakakku telepon lagi, Pa sudah
tidak mau makan sejak kemarin, ok saya diam saja dan masih setia dalam mengikut
kegiatan bersama teman-teman.
Dua hari kemudian saya telepon ke rumah dan bertanya gimana keadaan Pa, jawaban dari
seberang sungguh membuatku kaget, Pa tidak bisa bangun dari tempat tidur juga sudah
tidak mau makan, berarti ini sudah hari keempat beliau tidak makan. Akhirnya
beliau hanya dibantu infus dan sedikit suapan susu dari sendok kecil, itupun
sering tumpah-tumpah, kakakku bilang, waktu itu Pa hanya bilang ia capek dan mau tidur dan
sejak itu tidur terus.
Baiklah saya hanya berdoa dalam hati dan memberi info
kepada beberapa teman untuk minta bantuan doa. Besoknya kakak memberi info
lagi, apakah kamu tidak punya rencana untuk pulang menengok Pa walau hanya
sebentar? Saya menjawab, saya akan pulang, tapi tolong ceritakan dengan jelas
keadaan Pa yang sesungguhnya. Kakakku hanya bilang, mumpung masih ada waktu dan
beliau masih berinteraksi dengan orang lain walau sedikit, sebaiknya kamu cepat
pulang.
Ok baiklah, karena masih ada urusan penting mengenai pelatihan guru di
Mojokerto maka saya bilang ke kakak saya akan pulang hari Senin, 3 hari ke
depan ini. Tolong sampaikan kepada Pa bahwa saya akan segera pulang dan bisa
bertemu dengannya. Melalui pesan WA, beberapa teman menyampaikan, kamu harus
segera pulang jika tak ingin menyesal kelak, maka saya kemudian menyiapkan diri
untuk pulang.
Setelah urusan pelatihan
guru beres, saya langsung berangkat ke Bandara Surabaya. Dari rumah pkl 03.00
pagi dianter oleh seorang teman dan sopir, tepat jam 06.55, saya terbang ke
Kupang dan seterusnya ke Larantuka Tiba di Larantuka jam 16.30 WITE. Jam segitu
mestinya masih ada jadwal kapal dalam penyeberangan terakhir ke rumah. Tapi
orang-orang di bandara mengatakan, sudah tidak ada penyeberangan, mending
tunggu besok baru nyeberang. Sebetulnya saya enggan untuk menginap di
Larantuka, saya ingin secepatnya sampai di rumah karena ingin segera bertemu
dengan Pa.
Kakakku yang lain lagi yang menjemputku di bandara saya minta untuk
menghantar saya ke pelabuhan dan puji Tuhan, masih ada kapal yang masih muat
barang. Rupanya karena muatan yang harus dibongkar banyak membuat ia agak telat
keluar pelabuhan.
Saya secepat mungkin masuk kapal dan mencari tempat duduk,
karena suasana sudah agak remang dan gelap, maka saya tidak memperhatikan
sekeliling lagi, lalu tiba-tiba beberapa orang menyapaku dengan heran, kok bisa
ada di sini padahal ini di luar waktu yang biasanya. Saya memang sering pulang kampung
tapi itu di saat libur sekolah, sehingga ketika sekarang di luar waktu itu,
orang menjadi bertanya-tanya, ada mantan guruku di SMP, beberapa teman dari
kakakku dan beberapa lagi temanku di waktu SD.
Saya hanya bisa menjawab dengan
ramah, kalau kepulanganku kali ini karena bapak sakit di rumah. Oh rupanya
berita bapak sakit ini belum terlalu banyak orang yang tau sehingga mereka pada
kaget. Selama ini mereka masih melihat bapak ke gereja atau berjalan di lorong
depan rumah atau duduk di kursi kesayangannya warna hijau sambil minum susu dan
makan kue kesukaannya, ciri khas beliau adalah selalu ada syal yang melilit di
lehernya untuk menghalau udara dingin sore hari.
Cerita tentang syal ini unik,
ketika kembali dari Eropa beberapa waktu sebelumnya, saya membawa sebuah syal
manis warna biru dan ada tulisan Lourdes, karena memang saya beli di grotto di
Lourdes. Syal ini saya berikan ke beliau dengan pesan, pakailah ini waktu
tidur, dan setiap kali saya melihat beliau pakai ada rasa haru, bahkan syal itu
sampai pudar warnanya dan maaf sampai berlubang dan agak dekil ( hehhehe…..)
Saya mau mengganti dengan syal yang baru tapi secara halus beliau menolak, ah
mungkin Pa merasa nyaman dengan syal itu apalagi saya bawanya dari jauh
sehingga beliau sayang kalau harus menggantinya, ssst….. saya seneng loh ketika
Pa memakai syal ini, itu artinya beliau beliau tetap mengingat saya dalam
setiap doa-doanya, saya yakin setiap ia tidur pasti berdoa Rosario dulu, bahkan
ketika menunggu jam makan pun ia selalu mengisinya dengan berdoa.
Kakakku
pernah cerita, waktu itu ia hendak membangunkan Pa untuk makan siang, karena
menurut kakak Pa sudah tidur agak lama jadi harus segera bangun dan makan.
Ketika kakakku mendekati tempat tidur dan memegang lenganya dengan halus, Pa langsung
buka mata dan menunjuk tangannya yang sedang pegang Rosario, segera kakakku
maklum dan keluar kamar menunggu sampai ia selesai berdoa. Begitu seterusnya
hampir setiap hari.
Bagiku peristiwa Pa berdoa ini membuatku gembira karena ia
mengisi waktu menunggu perjumpaan dengan Tuhan dengan cara berdoa, keren bukan?
Dulu sewaktu telinganya masih bagus dan kami suka ngobrol, ia selalu
mengatakan, ema (panggilannya untuk anak perempuan yang artinya Mama), kok
Tuhan tidak panggil2 Pa ya, biasanya reaksi saya begini, emang Pa minta apa
pada Tuhan? Beliau jawab, Pa sudah tanya Tuhan, kapan kau panggil tapi Tuhan
jawab, nanti saja, ok saya jawab, berarti Pa memang harus menunggu dengan
sabar, dan sambil menunggu Pa bisa sambil berdoa.
Hari sudah malam ketika saya
tiba di pelabuhan, untunglah ada beberapa kakakku yang laki-laki sudah menunggu
di pelabuhan, begitu tiba di rumah saya lihat rumah ini kok ramai sekali,
ternyata semua keluarga sudah pada ngumpul semua, ada yang main kartu di
halaman belakang, ada yang duduk ngobrol sambil makan.
Saya terus saja masuk
rumah, langsung ke kamar dan memeluk bapak yang tidur di tempat tidur, ‘Pa saya
datang, Pa, apakah mendengar suara saya? Sambil berbicara saya memegang dengan
lembut dahi dan lengan, sesekali memegang tangan Pa yang ada infusnya, dan
beliau memang ada reaksi, mulutnya berucap “ ema” iya Pa, saya cepat menjawab.
Hanya itu saja ucapan yang keluar dari mulut Pa, tapi membuat saya sangat
gembira, hilang semua rasa capek perjalanan yang saya tempuh hampir seharian.
Cukup lama saya berada di samping tempat tidur, lalu perlahan saya memberi
salam kepada semua yang ada, keluar sebentar nengok mama di makam belakang
rumah, nyalain lilin sambil berbincang dalam hati dengan mama. Masuk lagi ke
dalam kamar, lalu diajak makan, dan saya dikasih ikan bakar dan sayur, wah saya
memang lagi lapar sekali, saya makan di dalam kamar dengan sangat nikmat,
seperti orang yang berbulan-bulan tidak makan. Mungkin karena hatiku gembira
sudah berbincang dengan Pa, menyaksikan sendiri keadaannya, bertemu keluarga
dalam keadaan sehat.
Semua orang mengelilingi saya, menatap saya yang lagi
makan dengan lahap, mungkin mereka heran kok ada orang yang makan kayak gini,
hehehhe… terima kasih untuk makannya yang walau sederhana tapi enak minta
ampun.
Malam itu sesudah makan,
kami semua berkumpul dan berdoa bersama, semua boleh mengungkapkan ujud doa
masing-masing, kami berdoa bersama, mohon kesembuhan bagi Pa karena kami masih
membutuhkan beliau untuk selalu hadir bersama kami.
Selama saya di rumah, kami
selalu berdoa setiap malam di samping tempat tidur, di samping Pa yang lagi
tidur walau beliau tak pernah memberi
respon pada kami, hanya sesekali tangannya bergerak atau kaki digerakkan,
mungkin karena pegal dan ingin mengubah posisi tidur, tapi saya yakin beliau mendengar doa-doa yang
kami panjatkan demi kesembuhannya.
Setiap pagi kakak selalu memandikan beliau,
membuat susu, mengajak beliau berbicara, sedangkan saya hanya bisa duduk di
samping tempat tidur sambil membantu sebisa saya, begitu seterusnya.
Selama kami
berdoa bersama setiap malam, saya belum pernah mendengar ujud doa pasrah pada
Tuhan atas keadaan Pa, saya pun demikian, saya belum sanggup untuk berdoa mohon
yang terbaik untuk Pa, tidak tahu kenapa, apakah karena saya belum siap? Karena
ketika berdoa seperti itu adalah lambang kepasrahan kami, hingga pada suatu
malam kakakku yang selalu menjaga Pa berdoa mohon yang terbaik untuk Pa.
Jujur
saya kaget, tapi di satu pihak ada rasa takut, kalau misalnya dia yang berdoa
seperti itu, itu artinya dia tahu baik kondisi Pak, apakah dia sudah tahu bahwa
kondisi Pa ini kondisi yang parah? Dalam hati memang saya sering
bertanya-tanya, apakah Pa bisa kembali normal lagi?
Beberapa kali saya bertanya
kepada kakak dan adikku yang orang kesehatan tapi mereka memberi jawaban yang
tidak pasti, saya yakin mereka tidak mau membuat kami yang lain takut dan
cemas. Maka ketika mendengar doa kakakku seperti itu, perlahan-lahan saya mulai
menata hati saya untuk siap menerima keadaan yang terburuk dari Tuhan untuk Pa.
Sejak saat itu kami sudah mulai berdoa kepasrahan, saya sudah berani minta
teman-teman saya untuk berdoa bagi bapak saya, mana yang terbaik untuk beliau.
Jujur saya sendiri tidak tega melihat kondisi Pa. Hampir 9 hari tidur terus,
tidak makan dan minum, hanya berharap pada infuse.
Hari Jumat siang, kakakku
yang tinggal di Malang pergi pelabuhan mancing ikan. Memang hobbynya mancing
dan keren, selalu hasil ikan melimpah, sehingga ketika Jumat malam itu kami
makan ikan segar yang dibakar pakai daun pisang, kami makan sambil ngobrol
ngalor ngidul, bahkan cerita masa kecil kami, sambil berebutan ikan dalam daun
pisang, lampu mati lagi, jadi makan dalam kegelapan, dan sepertinya aroma masa
kecil kami merebak.
Semua kami merasa masih seperti dulu ketika masih ada mama,
kami merasa ada mama yang menemani Pa di dalam kamar, maka kami makan dengan
gembira hati dan bebas berbicara. Rupanya malam itu malam terakhir kami bersama
dengan Pa, malam itu terakhir kali kami berdoa dan berbicang dengannya karena
esok pagi ia meninggalkan kami.
Hari Sabtu pagi tanggal 24
Nopember saya pamit ke gereja, misa dengan ujud khusus untuk kesembuhan Pa,
kembali ke rumah saya masuk kamar, memberi salam kepada Pa (separti biasa) dan
memberi berkat di dahi sambil berkata, salam dari Tuhan Yesus dan Bunda Maria
untuk Pa, lalu saya keluar kamar.
Belum lama di luar, saya mendengar kakak saya
berteriak memanggil menyuruh saya masuk kamar, saya lihat kok kakak saya
memegang nadi dan tangan yang satu memegang leher bagian kiri dari ayah , eh
ini kenapa?
Tanpa bertanya ba bi bu, saya langsung menangis keras-keras, sampai
kakakku dengan suara agak keras melarang saya menangis , oleh karena itu saya
langsung berdoa Bapa Kami dan Salam Maria dan langsung diikut oleh kami berlima
yang ada di dalam kamar.
Entah berapa lama kami berdoa dan berapa lama saya
menangis, lalu kakakku yang bidan itu berkata, Pa sudah hampir mau pergi, mari
kita berdoa lebih keras lagi, maka kami semua berkanjang dalam doa menghantar
kepergian Pa ke surga. Saya menatap Pa yang bernapas dengan pelan dan lembut
sampai akhirnya pergi menuju Tuhan yang sudah mengulurkan tangan memegang
tangan Pa.
Baru pertama kali dalam hidup
saya menemani orang yang hendak meninggal dan ketika saat itu terjadi, saya
seperti merasa ada yang keluar dari badan Pa, dan itu sangat terasa, sangat
nyata, maka kami mengiringi kepergian Pa dengan doa-doa kami yang tulus.
Selesai doa, kami ber 5, kakak dan adik dalam kamar itu ber 6 berarti kalau
dihitung dengan Pa, kami diam dan melanjutkan doa 5 peristiwa untuk Pa yang baru
saja dijemput Tuhan. Selesai doa saudara dan tetangga mulai berdatangan, dan
kami semua dengan hati yang sedih mulia mengurus segala sesuatu yang perlu. Ada
yang menelpon sana sini untuk mengabarkan berita duka ini, sedangkan saya tetap
duduk di lantai samping tempat tidur dan terus mendaraskan doa untuk Pa
tercinta.
Peristiwa ini begitu membekas dalam ingatan saya dan sulit
hilang sampai sekarang, saya ingat betapa sibuknya kami waktu itu, saya ikut
membantu kakak saya yang bidan itu membersihkan badan bapak, mengambil jas
keren yang memang sudah disiapkan oleh kakak saya beberapa waktu sebelumnya
(ini juga atas permintaan beliau).
Saya malah memakaikan kaos kaki dan sepatu
yang saya beli sendiri beberapa waktu sebelumnya di Jakarta, dan begitu proses
bersih-bersih selesai, saya menatap Pa yang berbaring gagah di tempat tidur.
Bapak memang gagah, usia tua tidak menghilangkan bekas-bekas gagah masa
mudanya. Bahagia di surga Pa, mengenangmu dengan penuh cinta memberi rasa damai
bahwa engkau sudah bahagia di surga.
Semoga doa-doa tulus kami yang kami
lantunkan setiap hari membuat belaskasihan Tuhan turun atasmu sehingga hati dan
jiwamu terbuka untuk menerima kasih dan sayang Tuhan.
Komentar