Mereka Datang Dari Sittard

 

Kalau membaca di beberapa buku sejarah gereja Katolik di Indoneisa, senantiasa tertera biara Ursulin sebagai sebuah biara tertua di Indonesia. Berapa tua sih usia mereka? Tahun 1856 mereka datang ke Indonesia, berarti sekarang sudah berusia 165 tahun. Jika ia manusia tentu sudah meninggal lama, bahkan  mungkin tak mencapai usia 100 tahun.

Mereka tiba pertama kali di Indonesia dengan menumpang sebuah kapal bernama Herman, kapal ini baru petama kali berlayar dan dikatakan sebagai sebuah kapal penumpang mewah. Berangkat dari Rotterdam Belanda pada tanggal 19 September 1855 dan tiba di Jakarta tanggal 7 Pebruari 1856. Hingga saat ini Ursulin memperingati tanggal 7 pebruari ini sebagai tonggak awal mulai berdirinya Ursulin di Indonesia. Pelayaran selama 140 hari, diceritakan dengan sangat bagus oleh catatan Moeder Ursula yang berjudul “Dagblad mijner reis naar de Oost Inien” (Meerten, 1856 dalam Inv. Sint. Agatha AR – 2117 No 6019, dari buku Jejak Cinta, hal : ) Bahkan pelayaran kapal pertama kali dimuat dalam iklan bernomor  6619 tentang pelayaran perdana kapal Heman koran lokal ‘ Nieuwe Rotterdamsche Courant” yang terbit tanggal 18 Agustus 1855 ( Diambil dari catatan kaki buku Jejak Cinta, Connie Lianto hal 106.

Herman

Terbuat dari bahan kayu berlapis tembaga, dengan tiga tiang layar menjulang tinggi di atas badan kapal berukuran 38,6 m x 7,38 m x 5,05 m. Kapal ini memiliki dua geladak dengan kapasitas kargo sekitar 660 ton. Dengan spesifikasi ukuran dek terbuka memiliki panjang kurang lebih 20 metre, dek tengah 33,5 meter dan ukuran ruang makan kurang lebih 9,1x 4,5 meter, rasanya kapal ini cukup tangguh untuk menembus setiap samudera dalam perjalanan ke Batavia, (JC hal. 42)

Siapa Mereka ?

Putri-putri Ursulin perdana  ini terdiri dari seorang dari biara Maseyk yakni Mere Marie Ursule dan enam lainnya dari biara Sittard. Mereka bertujuh putri Ursulin yang menjadi pionir dalam misi Batavia,  5 orang suster karya (koorzustrer), seorang novis dan seorang suster rumah tangga (hulpzuster). Pada masa itu suster yang berkarya dipanggil dengan “Mere” dan suster yang bekerja dirumah tangga disapa “ souer” (JC hal. 98)

Mereka adalah Mere Ursula Meertenn dari komunitas Ursulin di Provinsi Limburg Belgia, tepatnya di Maeseyck, kota yang terkenal dengan kesuburan panggilan religius. Saat tiba di Batavia ia berusia 41 tahun. 

Suster yang kedua adalah Mere Xaveria Verhuygt  lahir di Leuven Belgia dan saat tiba di Batavia berusia 42 tahun,  beliau yang tertua diantara rombongan Ursulin pionir. 

Berikutnya adalah Mere Angela Kuppers, beliau berasal dari Jerman dan menerima kaul di Sittard. Usianya hampir menginjak 35 tahun ketika tiba di Batavia. 

Suster yang lain  adalah Mere Jeanne Nieuwenhuijzen berkebangsaan Belanda, beliau  juga masih cukup muda ketika tiba di Batavia. 

Yang kelima adalah Mere Marie Emmanuel Harris, ia berkebangsaan Inggris dan lahir pada tahun 1829, ketika tiba di Batavia pada tahun 1856 ia berusia...  

Soeur Andre Van Gemert seorang berkebangsaan Belanda yang lahir pada tahun 1825. 14 bulan setelah menerima kleiding, ia berangkat ke Batavia, saat tiba ia baru berusia 31 tahun dan masih dalam status seorang novis Ursulin. 

Terakhir ada Soeur Marie Geraerdts yang lahir di Belanda pada tahun 1817. Ia tercatat sebagai orang tertua ketiga dalam rombongan pionier serta satu satunya suster rumah tangga.

Perjalanan

Perjalanan selama 140 hari bukan perkara gampang, mereka melintasi banyak samudera dan lautan yang terkenal dengan keganasan. Salah satu nya Teluk Bascay. Muder Ursula menuturkan betapa ia melihat laut yang indah sekaligus sangat ganas. Air masuk ke dalam kapal, goncangan kapal yang luar biasa sampai membuat penghuni kapal entah itu orang atau barang terlempar ke mana – mana. Diceritakan panci berisi makan yang terlempar ke atas, bahkan Soeur Andre terganjar gelombang yang menghantar punggungnya. Anjing piaraan kapten dalam kapal juga terkena amukan gelombang. Penumpang yang lain berjatuhan dikapal, bergulingan seperti bermain akrobat akibat goncangan kapal yang tidak bisa diam. Mereka semua seperti orang yang mabuk alkohol.

Tidak hanya badai angin, tetapi hujan juga mengguyur kapal mereka, untunglah bahwa mereka tinggal dalam kabin kecil yang cukup menolong dari terpaan air hujan. Tak terhitung panas matahariy ang menyengat tapi mereka atasi dengan berlindung di dalam kabin kapal.

Tantangan

Tak hanya terpaan cuaca yang menggila, mereka juga dilanda hati yang merindu, rindu kepada sanak saudara yang mereka tinggalkan jauh di belakang. Mereka sendiri tidak tahu dengan pasti negeri tujuan mereka, seperti apakah itu, tak ada yang bisa membayangkan. Mereka hanya berpasrah pada Tuhan. Mereka menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan.

Selain itu tantangan lain, selama kurang lebih 4 bulan di lautan lepas, yang kelihatan hanya  air di mana-mana. Mereka yang biasanya hidup di negara yang modern, segala sesuatu ada, kini berpasrah di tengah laut, berharap pada kebaikan angin yang membawa mereka. Semua dalam ketidakpastian, yang pasti hanya cinta Tuhan yang mereka terima melalui alam yang kadang bersahabat, yang kadang marah, juga kebaikan hati para awak kapal dan kebaikan hati sesama penumpang kapal lainnya.

Tantangan lain menanti setelah mereka tiba di tanah Jawa. Tantangan utama adalah cuaca. Cuaca di daerah tropis  panas dan lembab, membuat tenaga mereka cepat terkuras, apalagi ditambah dengan pakaian  yang serba hitam. Warna hitam biasanya menyerap panas sehigga menambah rasa panas. Mereka yang datang dari belahan dunia yang  hidup di cuaca dingin, salju,kini harus berhadapan dengan cuaca Indonesia khususnya Batavia. Hampir setiap hari sepanjang tahun mereka mengalami rasa panas. Tentu hal ini bukan suatu yang ringan, tetapi mereka berjuang keras untuk mengatasi.

Selain cuaca, makanan juga menjadi sebuah ajang perjuangan terdiri bagi mereka.  Lidah belum terbiasa dengan makanan Indonesia yang penuh dengan bumbu dan rempah rempah pedas. Sekali lagi mereka harus bisa menyesuaikan diri.

Tantangan lain yang tak kalah beratnya adalah budaya dan tata cara yang berbeda dengan yang mereka miliki di negrinya. Walau dikatakan mereka setiap hari bertemu dengan kebanyakan orang seasal tapi adaptasi harian mereka lebih pada orangbyang mereka jumpai setiap hari, entah tetangga, orangtua murid bangsa Melayu. Bahasa juga menjadi tantangan lainnya, bagaimana mereka bisa mengajar muridnya jika banyak anak didiknya yang tidak  paham bahasa Belanda? Maka sekali lagi dengan tabah mereka mempelajari bahasa Indonesia. Bisa dikatakan perjuangan mereka berat untuk mewartakan nama Tuhan di negeri terjanji.

Ketibaan

Saat tiba di Batavia, semangat itu masih ada dan semakin menggebu, walau mereka tak tahu dengan pasti situasi apa yang akan terjadi. Untunglah rumah biara sudah disiapkan oleh pejabat gereja setempat yang letakknya di Jalan Noordwijk 29 sekarang namanya jalan Juanda, seberangan dengan sekretaris negara sekarang. Dulu tempat itu namanya Nusantara. Saya menduga dikasih nama demikian untuk mempermudah para suster asing yang baru datang. Nama biara Noordwijk 29 kemudian menjadi titik awal mereka melangkah. Saat awal setelah menyesuaikan diri ,mereka mulai berkarya. Mereka mendirikan sekolah dengan tujuan awal untuk mendidik semua anak bangsa, belum terpenuhi.

Misi

Kehadiran Ursulin di tanah Jawa segera didengar oleh seluruh warga negara. Banyak orang dari berbagai pelosok mengirim anaknya untuk bersekolah di bawah bimbingnan. Apa dasarnya sehingga dalam waktu cepat ia langsung mendapat kesan baik di hati masyarakat? 

Rupanya nama besar Ursulin di Eropa khususnya di Eropa Barat sebagai sebuah institusi religius yang menangani sekolah, sangat diakui oleh seantero masyarakat Eropa. Mereka sudah mnyaksikan sendiri bagaimana Ursulin berkiprah dalam pendidikan anak. Semua pejabat negeri orang Belanda semua berlomba lomba mengirim anaknya untuk bersekolah. 

Konon sebelum Ursulin datang, para pejabat ini mengirim anaknya untuk kembali bersekolah di Eropa dengan memakan waktu dan biaya yang banyak. Karena itu ketika mendengar Ursulin telah datang, maka mereka sangat bergembira. Selain itu para suster ini sudah memiliki sertifikat mengajar yang diakui di Eropa.

Oleh karena itu misi utama untuk mendidik semua anak menjadi tak tercapai. Karena banyak anak Belanda yang bersekolah di situ maka bahasa yang dipakai adalah bahasa Belanda dan Para Suster memungut biaya yang cukup banyak untuk biaya operasional sekolah. Memang saat itu pemerintah turun tangan membantu pendirian sekolah dan lain –lain tapi itu tak mencukupi dan waktu yang dibutuhkan juga lama.

165 tahun hidup di Indonesia, Ursulin telah mengalami beberapa kali zaman perang. Mulai dari zaman penjajahan Belanda, lalu beralih ke masa penjajahan Jepang, lalu masuk dalam zaman kemerdekaan yang penuh dengan banyak perjuangan dan tantangan hidup yang silih berganti, dan terakhir di zaman modern modern sekarang di mana Ursulin masih terus bersinar dengan karyanya yang tak pernah lekang dimangsa zaman.

Kisah dalam Tulisan Sederhana atau Kronik

Jika membaca kronik pengalaman hidup mereka di awal pendudukan Jepang, ketika semua warga asing diinternir ke dalam camp tahanan serta membayangkan pahitnya hidup di dalam tahanan, semuanya serba tak bebas. Mau berdoa dilarang, mau makan juga dijatah dengan makanan yang tak pantas , hidup bersama semua orang yang tak bersalah dalam kamar tahanan yang sempit, kekurangan air bersih serta diberi peraturan yang kurangnya sarana kesehatan membuat mereka sakit dan banyak diantara mereka yang meninggal dunia dalam kamp.

Cinta Tuhan yang Besar

Mengapa mereka semua bisa bertahan? Ini semua karena cinta Tuhan yang luar biasa yang memampukan mereka untuk terus hidup dan bertahan. Hidup di dalam camp tahanan membuat mereka kreatif untuk melakukan pelayanan sederhana seperti, mendengarkan keluh kesah sesama tahanan  yang jauh dari keluarga, membantu kerja ala kadarnya, mendoakan orang lain (karena mereka punya banyak waktu utnutk berdoa) dan lain sebagainya.

Oh ya lupa diceritaian bahwa salah seorang dari ketujuh suster ini namanya Mere Emanuela Harris meninggal dunia setelah empat  hari tiba di tanah Jawah. Ia berjuang untuk sampai di tanah terjanji, betapa kuat tekadnya. Dikatakan bahwa selama perjalanan menuju Batavia, tak sekalipun ia menikmati karena berawal dari mabuk perjalanan samai dengan penyakit lain yang muncul. Kasihan, ia meninggal di usia yang belum mencapai 27 tahun, amat sangat muda.

Seperti kata kitab suci, benih itu akan mati supaya ia akan bertumbuh dengan lebat kembali, rupanya terjadi di tempat ini. Belum lama tiba di Batavia, mereka sudah harus membuak biara lainnya di tempat yang tidak jauh dari mereka yakni dijalan Weltervreden atau yang sekarang di sebuh dengan jalan Pos 2 dekat Pasar baru. Begitu seterusnya beberapa tahun kemudia berkembang sampai ke Surabaya, Malang, Bandung dan kemudian Madiun. Dari Madiun ia berkembang kembali ke arah Jawa barat yakni Sukabumi lalu terus ke jakarta di lokasi yang dekat dengan rumah pertama. Dari situ ada cabang baru di Pacet Mojokerto, lalu rumah pusat Bandung dirikan pada tahun 1932, seterusnya beberapa rumah besar di buka di Jakarta. Dari Jakarta iamenuju ke Jawa tengah yakn i Klaten terus ke Solo.

Mulai Berkembang ke Arah Timur Indonesia

Setelah di pulau Jawa dirasa cukup Ursulin mulai bekrkembang ke arah Indoensai Timur yakni ke Ende, Ruteng, Labuan Bajo dan Borong. Tahun 1983 mulai pergi di Timor Leste dan sekitarnya. Tahun 1992 mulai menapak di Papua dnegan beberapa komunitas di Sentani, Agats, Timika. Dari situ melompat ke Fairview Manila, ke Kalimantan Barat,ke Sulawwesi Utara dengan dua komunitas di Amurang dan Kotamobagu. Paling akhir Ursulin mengembangkan diri di pulau Nias pada tahun 2019.

Jumlah seluruh komunitas 33 komunitas. Ada komunitas yang besar dan ada komunitas yang kecil. Hampir semua komunitas memiliki karya kerasulan di bidang pendidikan baik itu formal maupun non formal, karena memang itu tujuan awal mereka dipanggil datang ke Nusantara yakni mencerdaskan anak bangsa.

Sampai dengan saat ini telah menetap di bumi nusantara selama 165 tahun. Apakah sudah berhenti sampai di sini? Apakah tidak ada lagi perjuangan? Dengan panjangnya perjalanan waktu, sudah cukup banyak menoreh tinta emas dalam dunia pendidikan di tanah air, telah banyak menghasilakan anak didik yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Telah banyak menghasilkan anak-anank katolik yang ketika besar banyak yang berkirprah dalam perkembangan gereja, banyak juga yang memilih hidup melayani Tuhan dengan hidup membiara. Apakah perjuangan sudah berhenti?

Tentu tidak, justru saat ini dalam perkembangan selanjutnya, para penerus Ursullin dituntut untuk lebih mmebuka diri dan kreatif dalam karay kerasulan. Zaman sudah jauh berbeda, masing-masing zaman dengan kegembiraan dan harapan plus tantangan tersendiri. Sebagai sebuah intitusi religius, Uruslin harus terus mengevaluasi hidup dan karya pelayanan mereka. Apakah karya pelayanan semakib berakar dalam nama Tuhan atau terus berkibar dengan membawa nama pribadi atau telah merambah ke dunia bisnis? Di sinilah letak perjuangan sesungguhnya yakni bagaimana hidup rekigius menggarami hidup sosial dan kemasyarakat.

Tantangan para suster tak kalah besarnya adalah saat ini semakin menurun minat hidup mebiara bagi kakum muda. Mengapa? Apakah karena pengaruh zaman yang serba hedonis atau karena para suster sendiri kurnag memberi teladan dalam hidup religus? Kurang memberi teladan dalam hidup religus seperti, kurang lagi menghayati ketiga kaul yang diucapkan, atau perkataan dan perbuatanyang tidak sejalan atau yang paling berbahaya adalah nama Tuhan tidakdiwartakan lagi sehingga makin banyak ornag yang tidka mengenal Tuhan.

Itulah esensi hidup religus sebenarnya. Maka para Ursulin harus terus menerus berjuang untuk mewartakan atau memperkenalkan Tuhan yang ia sembah kepada orang lain, entha itu kepada keluarga, kaum muda, masyarakat luas dan sebagainya. Tuhan yan gmencintai yharus nyata dalam hidup apra Ursulin sehingga nama Tuhan semakin dikenal dan itu mendorong kaummuda myang merasakan cinta Tuhan tergerak untuk mulai melayani Tuhan. Dengan cara itu pula, terbuka harapan bagi kaum muda untuk tertarik hidup membiara.

Selama kita masih hidup, tantangan itu masih tetap ada, sekarang bagaimana kita menyikapinya. Dirgahayu Ursulin Indonesia, 7 Pebruari 2021. Serviam di dadaku. St Ursula pelindung, Yesus perisaiku.

 

Sumber bacaan 

1. Jejak Cinta  : Connie Lianto

2. 165 tahun Biara Asrama Santa Maria Jakarta

3. Sejarah Ursulin Indonesia

4. Komunitas Ursulin Indonesia Tahun 2019


 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tours' dan Marie Incarnasi

Gadis KEcil Dari Desa