Menjadi Besar Bersama Ursulin
Saya
menjadi besar karena Ursuline. Ursuline adalah nama sebuah Tarekat
Internasional yang beranggotakan banyak biarawati dari berbagai negara dan
tempat di dunia ini. Puasatnya di kota abadi Roma.
Di
Indonesia sendiri Ursuline memiliki banyak rumah biara yang tersebar dari
Sabang sampai Mauroke ataa lebih tepatnya tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.
Dengan jumah komunitas 34 ditambah 2 komunitas lain yang berada di Manila dan 1
di Cambodia membuat Ursuline mempunyai anggota yang cukup beragam dari segi
daerah, suku, Bahasa, adat istiadat dan budaya. Dari keanekaragaman ini
muncullah spirit hidup berkomunitas yang sarat makna dan full perhatian satu
sama lain
Menjadi
besar Bersama Ursuline adalah sebuah cerita indah yang harus disampaikan
sebagai sebuah bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan atas semua kebaikan yang
telah dialami selama hidup. Cerita ini
bukan hanya sekedar kisah biasa tanpa makna. Atau sebuah cerita yang mengalir
begitu saja seiring dengan merambatnya waktu yang terus saja berjalan
Sebagai
seorang Ursuline yang menjadi besar karena jasa tarekatnya wajib membalas
kebaikan ini dengan cara kreatif yang bisa saja oleh segelintir orang dianggap
sebagai perbuatan yang keliru, tetapi ada tanggapan orang lain yang bernilai
positif, dan itulah yang seharusnya dihidupi
St Angela – Ruteng
Mengawali
hidup sebagai seorang Ursulin di sebuah kota kecil di kaki gunung Ranaka. Nama
kota nan manis ini Ruteng. Karena letaknya di ketinggian membuat udara kota ini
dingin sekali. Kita kayak hidup di negara 4 musim yang mempunyai musim salju.
Asli dingin. Kalau malam tidur memakai 4 selimut. Sinar matahari di siang hari
membuat kulit pedih dan kering bahkan terkesan keriput. Setiap orang yang kami
temui di jalan-jalan kota atau di lorong desa selalu berkemul dengan
perlengakapan seperti topi dingin,
sarung tangan, kaos kaki dan sarung yang terbuat dari tenun ikat.
Dengan
keadaan seperti ini kami para calon Ursulin dibimbing dan diperhatikan hidup
dengan mengarah pada semangat pendiri ST Angela Merici. Kepada kami juga
diajarkan untuk melatih cara hidup berkomunitas, belajar menyesuaikan diri,
membelajar menjaga hati serta belajar untuk bekerja dalam karya pelayanan
Kami
ber 12 orang waktu itu yang datang dari berbagai latar belakang keluarga, suku
dan budaya serta pendidikan yang berbeda-beda. Keanekaragaman ini adalah langkah awal kami belajar tentang banyak
hal. Kami belajar bekerja sama dalam hal-hal kecil seperti membersihkan rumah,
memasak dll. Kami juga belajar hidup bersama dengan orang lain seperti memiliki tenggang rasa satu dengan yang
lain, berusaha memahami, saling
melengkapi, saling memberi kritik yang membangun serta beberapa hal kecil lain
seperti mendengarkan, memberi usul saran yang baik
Hidup bersama
di masa yang kami sebut Postulan ini berkelanjutan di Malang. Saat itu kami
berangkat ke Malang dengan menggunakan jalan darat. Ada bis langsung indah rute
Labuan Bajo Surabaya Ketika itu kami berbondong-bondong naik bis dengan barang
bawaan yang tidak sedikit ditambah berbagai macam rasa dari kami yang belum pernah melakukan perjalanan jauh.
Perjalanan
dengan bis menuju pulau Jawa lancar namun di sebuah pelabuhan yang kala itu
masih hiruk pikuk dengan bom Bali sehingga terlihat penjagaan ketat untuk bis
antar pulau. Kami di periksa dan kedapatanlah bahwa kami semua para gadis itu
memililiki KTP yang bermacam-mcam di bagian pekerjaan. Ada yang tertulis
karyawan, mahasiswa, pelajar, dst. Hal ini membuat para pemeriksa mengira kami adalah para TKW
yang sedang diangkut menuju tempat kerja. Pemimpin kami dipanggil dan diperiksa
cukup lama. Untunglah tak berapa lama mereka percaya bahwa kami ini adalah para
calon suster yang berpindah rumah untuk belajar menuju jenjang pendidikan
berikutnya di pulau Jawa.
Tempat
dengan bangunan tua, klasik dan indah ini adalah warisan para leluhur kami para
suster pendahulu. Rumah besar seperti kastil jika dilihat dari luar adalah tempat
nyaman untuk kami belajar lebih lanjut bagaimana hidup membiara seutuhnya. Di tempat ini kami belajar untuk
masak dan berbelanja di pasar. Rumah kami ini dekat dengan pasar Klojen, hanya
perlu keluar gerbang kami, naik becak sebentar dan sampai. Kalau ke pasar,
bawaan kami jelas, selain uang belanja kami juga membawa tas kampung (tas
terbuat dari plastik berwarna-warni, tempat untuk menyimpan barang belajaan.
Jadi dari dulu kami sudah tahu yang namanya ogah sama plastik. Kami menyimpan semua
belanjaan kami di tas kampung itu. Menariknya bahwa semua tukang sayur, tukang
daging, ikan dll semuanya mengenal kami. Ketika kami datang, mereka langsung
teriak, “mbakkk… ayo ke sini sama ibu, sayurannya segar, ayok mbak, beli daging
sama Mas itu dst. Begitulah, dengan demikian waktu belanja kami menjadi lebiih
singkat karena kami tinggal membayar dan mutu belanjaan juga baik karena sudah
dipilihkan khusus sama tukangnya.
Selama
pembelajaran di Malang, kami semakin ditempa untuk melihat diri dan memberi
penilaian sendiri apakah saya pantas untuk meneruskan cara hidup ini atau saya
memilih jalan hidup yang lain. Kepada kami diserahkan kesempatan yang
sebesar-besarnya untuk melihat diri dan memilih. Jika saat itu kami masih
ragu-ragu dengan jalan ini kami akan dibantu untuk melihat kembali dengan lebih
detil. Jika saat itu kami merasa mantap untuk terus melanjutkan perjalanan kami
maka kami akan dibimbing dengan baik dan kepada kami ditunjukkan bentuk
tanggung jawab yan glebih besar berupa beberapa macam tuntutan yang harus kami
hidup di masa selanjutnya.
Malang
kota sejuk dan dengan udara segar, sangat cocok untuk tempat tinggal
pembentukan. Sangat cocok juga kami melakukan beberapa karya kerasulan kecil
seperti pergi ke sekolah menemani anak2 makan saat jam isitrahat, bermain di
halaman bahkan kami diminta untuk mendampingi mereka dalam pembelajaran Agama
Katolik, Rekoleksi dan Retret. Bahkan kami pernah bertindak sebagai tamu
restoran untuk sebuah ujian perhotelan untuk kelas akhir SMK jurusan kehotelan
di tempat kami
Supratman
Bandung
Di
kota yang sejuk dan nyaman ini kami berusaha untuk memasuki masa baru dalam
hidup kami yakni masa Novisiat. Masa ini adalah tempat kami untuk mendalami hidup doa sebagai satu
satunya jalan untuk smemakin mengenal DIA yang mengutus kami. Saat Ini kami
lebih menyediakan waktu untuk berkontak dengan sang Pencipta. Kami berusaha mengenal
DIA lewat tulisan Kitab Suci dan doktrin gereja. Kami juga mempunyai kewajiban
untuk mendalami spirit pendiri dengan melakukan studi khusus secara terus
menerus
Dengan
kebun dan taman yang luas, kami belajar memelihara ciptaan Tuhan, menjaga mereka
agar tetap subur dan sehat. Dan ketika melihat meeka bertumbuh betapa senang
hati ini. Rupanya rasa ini sama seperti yang Tuhan rasakan ketika IA melihat
kita bertumbuh dalam iman.
Di biara
pusat ini kami belajar melayani dalam konteks yang lebih luas. Kami bisa keluar
melayani komuni orang sakit di rumah saikt, di panti lansia, di rumah-rumah
penduduk yang membutuhkan. Kami juga berani melayani di paroki di luar tempat
tinggal kami. Melayani koor atau bertugas lain di misa sesuai dengan permintaan
Selain
itu kami wajib belajar mandiri yakni berbelanja sendiri, memasak di dapur dan
satu hal yang wajib kami lakukan adalah
sharing keluarga. Tujuannya adalah kami berusaha mengenal teman kami satu sama
lain. Tujuannya jelas agar dengan semakin kenal kami semakin dekat dan dengan
sendirinya kami akan menjadi saudara dan memiliki keluarga di mana-mana. Karena
teman-teman saya berasal dari seluruh Indonesia seperti dari Kalimantan,
Sumatera, dari pulau Jawa sendiri, juga dari pulau-pulau lain di Indonesia.
Karena itu perkenalan itu menjadi penting untuk kami.
Di
tempat ini kami menempa diri kami untuk semakin mengenal diri, mengenal orang
lain, mengenal spirit pendiri, mengetahui cara hidup berkomunitas. Yang paling
penting dari semua itu adalah bagaimana kami mengenal diri dengan baik agar
semakin mengetahui di tempat mana yang cocok. Apakah biara adalah tempat saya? Ataukah di tempat
luar biara? Cara melihat di mana letak kecocokan atau sebaliknya amat gampang. Gimana
coba? Saya merasa bahagia atau tidak? Saya tertekan atau hidup mengalir apa
adanya? Saya berkembang dalam kegembiraan atau saya tidak bahagia?
Hal
penting lainnya ketika hidup di novisiat adalah belajar melayani di gereja dan
kapel. Kebetulan di Supratman ada kapel besar tempat berdoa dan mengikuti
perayaan ekaristi bagi banyak umat beriman entah itu tetangga atau siapa saja
yang hendak berdoa di kapel. Karena sering melayani di kapel membuat kami
terbiasa dan mengenal dengan baik semua sisi pelayanan gereja. Dari tempat ini
kami semakin memupuk diri dan menempa pribadi menjadi orang yang siap diutus ke
tengah dunia.
Di
zaman ini saya mengembangkan bakat menjadi seorang tukang potong rambut
professional. Dikasih gunting yang bagus dan peralatan potong komplit. Dan itu
dipakai untuk semua orang, saya tidak pandang bulu. Jika ada yang membutuhkan
bantuan akan saya tolong saat itu juga. Satu kekesalan saya saat itu adalah
teman-teman saya berlagak seperti ketika
mereka ke salon, jadi setelah beres
motong mereka akan langsung angkat kaki dan pergi. Padahal saya kan harus
menyapu bekas rambut, membersihkan tempat sekitar (biasanya dibawah pohon).
Ketika saya teriak-teriak mereka untuk menolong, maka dengan santai mereka akan
berkata, lho, kalau di salon kan begitu? Langsung pergi to? Memang amat menyebalkan
tetapi itu adalah pengalaman yang menggembirakan kalau diingat-ingat. Bahkan
ada teman saya yang lain berkata saat kami berjumpa sekian tahun kemudian. Kata
saya saat curhat, “ kok sekarang orang jarang memakai jasa potong rambut saya
lagi ya,”” Ya iyalah, wong kami waktu itu juga khilaf kok, tak ada jalan lain
yang terbuka untuk kami, makanya kami minta
bantuanmu,” Uh, pengen saya timpuk mereka pakai tempat nasi sambil pelototin, hehehhe
Supratman
Bandung menjadi tempat pertama saya mengayam rasa cinta pada Tuhan yang
Mahabaik. Dengan cinta yang besar itu menjadi bekal untuk saya dalam karya
pelayanan di tempat perutusan yang lain
Kota
dingin Ruteng menjadi tempat pertama saya menjalankan masa pertama sebagai seorang
suster muda. Anak muda yang masih penuh spirit dan angan-angan untuk
mengembangkan diri serta memulai karya perutusan baru.Kota kecil nan indah ini
menyimpan banyak pengalaman indah dan berkesan. Situasi kunjungan umat di malam
yang dingin atau ke desa-desa terpencil dengan situasi jalan berbahaya, ataupun
pertemuan dengan umat yang merindukan pelayanan, menjadi tempat penumpukkan
pundi-pundi kebahagiaan yang berharga. Seperti pada umumnya daerah dingin,
harus memakai pakaian tebal kadang
membuat rasa malas untuk bepergian.
Kota
kecil ini membuat diri tidak malas bangun pagi. Dengan waktu misa pagi di
gereja sebelum jam 5 pagi membuat saya mau tidak mau harus bangun pagi dan
mandi. Atau jika bangun terlambat maka cuci muka sekedarnya, melapisi diri dengan
pakaian tebal yang banyak dan pergi ke gereja. Nanti setelah hari mulai panas
baru menyentuh air untuk mandi.
Pertemuan
dengan sesama di lingkungan, di pasar, di gereja menjalin banyak hal di antara
kami. Di pasar misalnya, saya begitu mengenal banyak para penjual di pasar,
bisa mengutang sayuran dan ikan jika uang kurang pas belanja. Atau mereka para
penjual ini tanpa sungkan bertanya pada saya mengenai nmr EB mobil yang biasa
saya pakai ke pasar. Saya tanya untuk apa, katanya mobil kami menginspirasi
nomor buntut. Soalnya semalam mereka melihat mobil biara parkir di jalan.
Gubrakkk… Biasanya saya kalau diminta nomor mobil untuk tebakan judi buntut,
saya marah-marah dan menyuruh mereka pergi. Saya tidak akan kasih nomor mobil
kami. Tetapi anehnya, kami tetap menjadi akrap dan mereka tidak bosan memberi
utang pada saya.
Di
kota kecil ini untuk pertama kali saya bergaul akrap dengan para gadis muda
yang tinggal di asrama. Jadi kami sama-sama muda saat itu. Anak-anak gadis ini
saya ajarkan cara-cara sederhana mengenal Tuhan, cara berdoa sederhana,
beberapa tips menjadi seorang perempuan yang mandiri dan berkualitas. Dari
sekian banyak para gadis itu beberapa diantaranya memilih hidup membiara. Entah
karena mereka terpanggil beneran atau karena mereka kena pengaruh saya yang
baik ini, heheheh..
Kota
Bandung seolah-olah melambai-lambaikan tangan kearah Ruteng sehingga setelah
tingal 3 tahun di Ruteng, saya bergerak kembali ke pulau Jawa, tepatnya di kota
Bandung. Kota Besar yang menawarkan banyak kesenangan sekaligus tantangan yang
tidak kecil. Di tempat ini saya bergaul dengan anak-kecil di sekolah. Terpaksa
menjadi ibu di usia muda di sekolah bukanlah sebuah tantangan yang berarti.
Belajar untuk menghandel banyak tugas dan tanggung jawab. Belajar untuk
mengerti system pendidikan, belajar untuk mengerti dengan baik aturan
kepegawaian.
Semua
hasil belajar ini akhirnya mematangkan saya dalam banyak hal. Saya tidak
canggung dalam bekerja atau berhadapan dengan para petinggi pemerintahan,
berkenalan dengan aneka macam orangtua yang memiliki banyak ide dan
kreativitas, mulai berani untuk berkolaborasi dalam banyak bidang, serta
hal-kecil sederhana lainnya. Di atas segalanya saya benar mulai mengerti
menjadi seorang guru yang harus digugu dan ditiru. Keberanian untuk bekerja
sama dengan banyak pihak ini akhirnya memampukan saya untuk membuat banyak
terobosan baru dan berguna untuk orang lain, dalam hal ini para guru dan murid
saya di sekolah.
Dengan
jarak antara rumah dan tempat kerja yang jauh mengharuskan saya untuk naik
kendaraan umum ketika pulang kerja. Paginya diantar mobil tetapi pulangnya
harus naik angkot. Kadang saya naik becak dan bercakap-cakap dengan para tukang
becak, atau naik angkot sambal memperhatikan kesibukan di jalan raya, atau
mengamati dengan diam-diam sesama penumpang dalam angkot. Atau di kesempatan
lain mengalami kecopetan atau terpaksa harus makan diam-diam di dalam angkot
bahkan lebih gila lagi ketika ketiduran dalam angkot (kalau ini pas pulang
kuliah) dan dibangunkan oleh bang sopir karena sudah sampai di terminal tujuan.
Maka dengan malu terpaksa keluar dari angkot, dan cari angkot yang sama untuk
balik arah kembali ke rumah.
Pengalaman
seperti ini membuat saya dewasa dalam cara berpikir akan arti kehidupan yang
sebenarnya. Ketika melihat keramaian orang bekerja dari dalam angkot, saya
paham akan kerasnya kehidupan. Orang harus bekerja supaya bisa makan. Ketika
kecopetan dalam kendaraan umum, membuat saya mengerti akan pentingnya berhati-hati
ketika berada di tempat umum dan lain sebagainya.
Ini
adalah pengalaman-pengalaman yang tidak
didapat di bangku sekolah atau dibangku kuliah. Peristiwa ini memberi siprit
sendiri dalam cara memandang hidup. Kejadian ini memberi rasa hangat dan
kegembiraan akan perlindungan Tuhan yang datang pada waktunya.
Kurang
lebih 7 tahun mengalami keriweuhan kota Bandung, akhrinya saatnya pergi. Banyak
hal baik yang diperoleh selama tinggal di kota besar. Banyak keistimewaan dan rahmat tersendiri dan
dianggap sebagai bekal yang bagus untuk berkarya di tempat lain. Kota besar
dengan segala kegembiraan tersendiri seperti pengalaman kerasulan dengan
beraneka ragam manusia dengan banyak perbedaan di segala line, atau wawasan berpikir dan mindset berubah seiring
dengan pembelajaran bersama pihak pemerintah dan gereja dalam lingkup yang
lebih besar atau yang lain bisa merasakah bagaimana bergaul dengan orang kecil,
miskin dan terlantar yang dijumpai di jalan dan tempat-tempat umum
Tiba
DI Ende Sare Pawe
Kota
kecil yang manis dan sederhana yang berada persis di pinggir laut akhirnya
menjadi tempat persinggahan saya selanjutnya. Ketika pesawat yang saya tumpangi
berputar-putar diatas laut Ende, sembari menyaksikan pemandangan laut dan
gunung dari atas pesawat memberi spirit baru dalam dada. Bahwa inilah tempat
Tuhan, di sini tanah terjanji selanjutnya yang mesti saya pijak. Akan ada
banyak tantangan serta hiburan tersendiri yang penuh makna yang bakal saya
alami.
Berawal
dari ketiadaan nomor tempat duduk dalam pesawat ke Ende serta ketiadaan tempat
bagasi berjalan sekeluar dari perut pesawat akhirnya menghantar mata saya
melihat begitu banyak penjemput di bandara. Banyaknya orang yang menjemput saya
memberi rasa aman dan aura positif yang sedikt banyaknya melegakan saya. Ketika
dengan beratnya saya menggeret koper besar (iya namanya orang pindahan pastilah
bawang bawaannya banyak besar-besar) membuat saya bertemu dengan banyak orang
baik yang selalu bersedia menolong. Ada yang menangkat koper saya dengan enteng
membawa keluar, ada yang menggandeng tangan saya, ada yang memegang ransel dst.
Padahal mereka semua itu tidak saya kenal. Walau demikian saya dapat merasakan
aura ketulusan yang terpancar dari mati dan hati mereka membuat saya merasa
aman.
Pengalaman
yang paling berkesan di tempat ini, saya amat cepat berbelas kasih dan
ikut merasakan penderitaan sesama yang
ditinggal oleh orang kekasih mereka ke surga. Karena rumah kami di samping
gereja jadi saya bisa tahu jika di gereja sedang ada misa penguburan orang
mati. Biasanya saya akan ke gereja ikut misa. Jika tidak ada petugas mengiringi
lagu maka saya dengan senang hati membuka organ dan mengiringi misa. Sangat
sering saya lakukan itu. Ketika orang-orang bertanya, siapa yang meninggal maka
dengan enteng saya jawab, saya tidak kenal. Atau ketika pas lewat gereja dan
bertemu rombongan pengantar jenazah dan peti maka saya dengan senang hati
bergabung dan ikut mendoakan. Saat-saat seperti ini saya seperti ikut
berbelarasa bersama keluarga yang meninggal. Saya jadi bisa membayangkan ketika Yesus bertemu bertemu dengan ibu janda
yang mengantar anaknya ke pemakaman. Pengalaman ini menjadi sebuah doa
kontemplasi konkrit.
Setelah
meninggalkan kota ini saya tidak pernah lagi terlibat dalam upacara kematian di
gereja atau di lingkungan. Mungkin karena lingkungan tempat tinggal di kota
besar yang semuanya terlalu menonjolkan kesendirian.
Ada
kisah lain di kota ini, para anak didik saya dengan penuh kesederhanaan datang
ke sekolah, memberi salam di depan gerbang sambil mencium tangan dan
bercerita sepatah dua kata tentang
dirinya semalam. Menyaksikan antrian panjang mereka ketika beri salam saat
pulang sekolah memberi rasa nyaman. Karena mereka sangat taat antri. Kegiatan
kecil ini memberi pembelajaran yang beragam. Mereka belajar tertib dari antri,
belajar disiplin, belajar tidak menyerobot, belajar menghormati satu sama lain,
belajar sabar, dan macam-macam hal penting lainnya. Saya amat bersyukur pernah
merasakan aura kekeluargaan di kota kecil dan permai ini.
Selainnya
orang-orangnya ramah dan ekpresif, mereka juga tulus dan baik hati. Tentang
ekspresif ini saya kedatangan dua pasang orangtua yang anak-anaknya berantem di
sekolah. Mereka tidak terima keadaan ini dan hendak melapor. Mereka ber4 duduk
di kantor saya dan kami mulai berbicara. Eh di tengah pembicaraan mereka saling
marah-marah dengan suara keras dan saling mempersalahkan. Saya sendiri bingung
menyaksikan pertengkaran mereka. Lama mereka saling marah2an. Maka dengan suara
keras saya juga memarahi mereka dengan mengatakan, kalau tidak berhenti maka
pergi dari sini dan silahkan lanjutkan di lapangan atau di kantor polisi, kata
saya dengan geram. Eh mereka kaget, minta maaf pada saya lalu hasil akhir
adalah kami saling memaafkan dan tertawa sana sini melupakan pertengkaran kami.
Begitulah kalau hanya nama Tuhan yang berkarya maka semua persoalan dengan
sendirinya akan terselesaikan tanpa kita bersusah-susah.
Kembali
KE Jakarta
Kota
besar yang satu ini memanggil-manggil saya untuk segera ke sana. Bertepatan
dengan mendapat SK baru untuk mengikuti probasi yang base campnya di Jakarta,
maka pergilah saya dengan damai ke sana. Saya tinggalkan kota kecil Ende Sare
Pawe dengan hati gembira karena masa probasi ini adalah masa yang sedang saya
nanti-nantikan saat itu.
Di
kota besar ini saya berkumpul bersama teman-teman seangkatan dan kami memulai
masa ini dengan hati gembira dan penuh semangat. Saat ini benar-benar saya
pakai untuk mengisi pundi-pundi spirit hati saya. Mengisi kembali daya jiwa
yang telah dipakai karya sepanjang belasan tahun. Saat ini adalah waktu yag
amat berharga yang harus dimanfaatkan dengan baik.
Bersama
teman-teman seangkatan, kami belajar,
kami mengisi hari-hari hidup kami dengan sharing pengalaman panggilan dan
pengalaman keluarga serta sharing pelayanan. Kami menyempatkan
berbincang-bincang tentang semangat pendiri. Kami saling meneguhkan dan memberi doa serta
mengisi hati kami dengan firman Tuhan yang kami timba selama sebulan penuh
dalam retret agung.
Di
kota yang sama, saya mendapat perutusan selanjutnya. Mendampingi anak SD dan
para guru di sebuah sekolah kami di daerah Menteng. Sekolah yang memiliki anak
dari berbagai latar belakang pendidikan keluarga dan pendidikan orangtua serta keadaan ekonomi orangtua kelas menengah ke atas membuat
saya belajar banyak tentang arti pendidikan anak yang sebenarnya.
Di
kota besar ini relasi antara guru dan orangtua selain dilandasi oleh rasa
persaudaraan juga benar-benar menuntut pengertian antara dua belah pihak. Harus
ada kerja sama yang baik jika kita ingin pendidikan anak terlaksana secara
baik. Anak-anak yang belajar di sekolahpun berasal dari berbagai macam
latarbelakang pendidikan orangtua. Banyak orangtua yang berpendidikan tinggi
dan tamatan luar negeri menyekolahkan anaknya di sini dengan harapan agar
karakter anak ditempa secara dini sebelum kelak mereka belajar di luar negeri mengikut
jejak orangtua.
Banyak
kisah manis dan lucu yang terjalin antar guru, orangtua dan anak sendiri serta
tak lupa keluarga anak-anak yang terdiri dari kakek nenek, om tante dan seluruh
keluarga besar.
Jawa
Timur dan Kisah Selanjutnya
Selanjutnya
mendapat tugas baru yang mengarah ke pulau Jawa bagian Timur. Dari Jakarta
menumpang kereta kelas ekonomi atau eksekutif dan setelah semalaman duduk dalam
kereta, sampailah di Madiun. Kota kecil yang manis dan terkenal dengan makanan
khas nasi pecel. Selain itu kota ini juga menjadi saksi sejarah penumpasan PKI
pada tahun 1942. Jika melihat lokasi sejarah ini akan kerasa aura mencekam,
bahwa di tempat ini berbaring banyak jasad manusia yang entah bersalah atau
tidak, kita tidak tahu. Yang kita paham adalah pemerintah sedang menegakkan
kedaulatan bangsa dari rong-rong-an PKI. Demi menyelamatkan bangsa maka pilihan
yang paling sulit harus dilakukan yakni mengenyahkan mereka.
Bertugas
di Madiun tidak membuat saya menjauhkan diri dari relasi dengan sesama orangtua
murid. Orangtua murid di Madiun kebanyakan berasal dari tantara angkatan udara
Iswayudi. Dengan demikian banyak urusan yang berkaitan dengan tentara dan pesawat dimudahkan. Jika anak
ingin melihat pesawat tempur, pesawat perang lainnya maka orangtua di Iswayudi
akan segera menolong. Demikian juga ketika kita membutuhkan sarana prasarana
untuk camping dll maka para tentara itu akan segera turun tangan membantu.
Madiun
mempunyai perjuangan tersendiri. Seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah
dengan tingkat persaingan yang tinggi memberi rasa ingin maju yang sangat kuat.
Keinginan ini didasari agar sekolah di Madiun tidak ditinggalkan oleh anak2.
Banyak cara yang dilakukan oleh Yayasan baik itu menyiapkan sarana belajar
guru, mencari cara kreatif untuk promosi sekolah, menerobos cara-cara baru
untuk pembelajaran di kelas agar sekolah semakin berkembang.
Selain
itu pelayanan di gereja sangat menyenangkan. Bergaul Bersama umat paroki,
mengenal mereka dengan baik dan seringkali bekerja sama dalam beberapa karya
kerasulan membuat nama para Ursulin semakin dikenal
Bergerak
ke Pulau Jawa Bagian Tengah
Bergerak
ke tengah membawa saya ke sebuah kota kecil yang terletak diantara Jogya dan
Solo. Namanya Klaten. Dengan jarak ke kota besar yang relative dekat membuat
banyak urusan menjadi lebih gampang. Mau ke rumah sakit besar gampang, mau
pergi ke pasar yang lebih lengkap mudah sekali. Banyak urusan yang bisa
dilakukan dalam sekejap, yang penting kita mau bergerak
Daerah
tengah pulau Jawa memiliki karakter tersendiri bagi para penduduknya. Karena
pengaruh budaya dan adat istiadat membuat mereka tumbuh menjadi masyarakat yang
halus budi pekertinya, memiliki rasa tenggang rasa yang tinggi. Mereka mampu
menyampaikan buah pikiran, kritik atau protes sekalipun dengan bahasa yang
lemah lembut.
Terkait
dengan budaya ini, saya memang harus
belajar menyesuaikan diri agar kita dapat berbaur dan saling mengerti. Saling
mengerti dan memahami kedua belah pihak ini memampukan kita untuk menjalin
relasi kerja yang baik.
Sebetulnya
sebuah relasi yang baik dan lengkap sangat terpegantung dari diri sendiri.
Apakah saya mau atau tidak. Mau atau tidak ini kemudian mempengaruhi tindakan
saya selanjutnya. Jika saya mau maka mulailah berjuang dengan segala cara agar
dapat mewujudkan. Jika saya tidak mau maka tentu saya tidak berjuang untuk mulai
menjalin relasi dengan orang lain
Relasi
ini tidak saja hanya pada sesama manusia tetapi juga pada alam lingkungan
sekitar, pada pohon, pada makluk hidup yang lain. Bahkan juga ada sarana
prasarana sekolah atau kebun yang luas dan lain sebagainya.
Di
sinilah saya sekarang, dengan penuh ketaatan mulai berjuang untuk melayani
orang lain. Menyapa, bekerja, menegur dengan cinta, menolong dan lain
sebagainya.
Menjadi
besar Bersama Ursulin itu apa artinya?
Bertumbuh
dan berkembang dalam asuhannya plus menjadi bagian dari Ursulin yang
berkualitas. Berkualitas artinya bisa diandalkan, mampu bertanggung jawab
dengan kata dan perbuatan, menjadi orang yang bisa diandalkan, mampu
menjalankan tugas dengan baik, menjalin relasi dengan sungguh dan tidak
ekslusif.
Apakah
dalam sebuah pertumbuhan ini berjalan mulus saja? Tentu saja tidak. Ada banyak
uji coba dan tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi. Tantangan iitu bisa
berupa relasi yang buruk dengan orang lain, egoistik yang mendominan,
kesombongan, mau menang sendiri dan banyak kelemahan manusiawi lain yang sifatnya
melekat . Semua yang dikatakan diatas sifatnya bisa intern atau berasal dari
dalam diri sendiri atau ekstern yang datang dari luar diri.
Jika
mampu mengatasinya maka bisa dikatakan kita lolos dari godaan. Bagaimana cara
yang tepat untuk meminimalisir tantangan? Hanya satu hal yangbisa dilakukan
yakni dengan berdoa dan berdoa. Berdoa terus menerus dan tak kunjung putus akan
memampukan untuk keluar dari masalah. Doa juga tentu memiliki masalah sendiri.
Masalah yang dimaksud adalah kita terlalu menginginkan agar keinginan kita
instan dan dalam sekejap mata dikabulkan oleh Tuhan.
Tentu
tidak, Tuhan membutuhkan kesabaran dan ketekunan kita. Ketika kita sabar dan
tekun makan dengan sendirinya kita bertumbuh dan menjadi besar. Ursulin
menyiapkan sarana dan media yang perlu serta membantu saya untuk dapat
bertumbuh dan menjadi besar bersamanya.
Komentar