HATI yang MURAH
Kita semua sering banget ke pasar, entah itu pasar tradisional atau pasar modern. Sekian sering kita bertemu dengan para penjual mulai dari penjual barang pecah belah, sayuran sampai dengan para penjaja barang-barang branded. Ketika ke pasar tradisional kita bertemu dengan para penjaja makanan, sayuran, buah, makanan kecil yang nota bene mereka itu pedagang kecil yang juga memiliki modal kecil. Kadang kita bertemu dengan pedagang keliling entah itu sayuran, kelontong, atau pedagang makanan kering lainnya.
Laiknya
sebuah pasar tempat bertemu pembeli dan penjual juga tempat orang menawar
barang dagangan. Maka terjadilah tawar menawar. Kadang tawar menawr berlangsung
baik dan
singkat tapi kadang terjadi perseteruan
urat, tarik menarik menawar barang, bahkan tidak jarang menimbulkan
perselisihan karena barang yang
ditawar oleh calon pembeli amat kecil. Penjual merasa dia akan dirugikan
maka ia bertahan. Tapi kadangkala banyak pembeli yang merasa puas jika berhasil
menawar.
Apakah
semua orang yang datang ke pasar itu punya banyak uang? Jawabannya ada yang
iya dan ada yang tidak.
Mereka menawar karena merasa barang yang hendak mereka beli itu
terlalu mahal, uang mereka
tidak cukup. Tapi sebaliknya ada
orang yang sungguh menawar dengan harga yang rendah tapi ia punya banyak uang
di tas. Entah kenapa, tapi menurut saya orang kayak gini adalah orang yang terbiasa hidup hemat, tidak
mau memboroskan uang, hidup seadanya walau ia punya banyak uang.
Tapi
ada juga orang kaya yang tidak segan menawar serendahnya rendahnya suatu barang dan merasa
puas jika ia berhasil membeli dengan harga murah. Padahal pedagang di depannya
ini tampak
orang susah dan terpaksa
mengiyakan supaya jualannya laku. Mengapa demikian?
Kadang-kadang orang kaya merasa kurang
peka dengan keadaan
orang lain? Saya yang punya uang kok, saya bekerja keras untuk mendapatkan uang, tentu saya tidak mau
memboroskan untuk
hal yang sepele.
Tampaknya
sedih tapi itulah realita yang ada di masyarakat saat ini, banyak orang (termasuk saya kadang-kadang) tak
peduli dengan orang kecil, yang penting saya, kamu mau hidup atau tidak bukan
urusan saya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana orang dengan teganya menawar
jualan
kripik pisng yang tidak seberapa, padahal yang jual adalah seorang ibu tua renta, mungkin ibu ini
hanya sedikit mengambil keuntungan dan hanya cukup buat makan.
Hari
ini injil mengajar kepada kita untuk
peka dengan situasi sesama kita. Ketika Yesus dan para murid selesai mengajar,
mereka mendapatkan banyak orang
yang mendengarkan pengajaran itu berasal dari kampung kampung yang jauh dan
hari sudah malam. Mereka tentu saja capek dan lapar. Jangankan mereka, Yesus
dan muridNya juga lapar. Lalu Yesus
berbelaskasih
pada orang
banyak itu dan hendak memberi mereka
makan.
Belaskasih
Yesus yang besar
ini didasarkan pada situasi dan kondisi saat itu. Maka IA bertanya kepada para
murid, apa yang mereka punyai, ternyata
yang ada hanya 5
roti dan 2 ikan. Makanan segini mana cukup untuk sekian banyak orang yang berharap untuk makan bersama Yesus?
Para murid berinisiatif untuk pergi dulu
membeli roti, tapi kapan tempo? Kampung terdekat masih jauh dan orang-orang ini
sudah nampak amat lapar. Tapi kenapa ya, Yesus memilih kampung yang jauh untuk
mengajar ya? Wong pilih saja kampung dekat-dekat kota biar kalau ada apa-apa
kayak gini kan gampang cari
makanan iya gak?
Ternyata
dengan roti dan ikan sebanyak itu mampu memberi makan banyak orang yang
ada, bahkan ada sisanya segala. Yesus telah menunjukkan kuasa yang besar. Ia
memperbanyak roti dan semua orang makan sampai kenyang. Mukjizat telah terjadi
di depan mata. Secara manusiawi kita bisa berpikir begini, bisa terjadi saat
para murid mulai membagikan roti dan dua ikan yang sudah
didoakan oleh Yesus, maka masing-masing
orang banyak mulai mengeluarkan bekal masing-masing. Jadi
sebetulnya ketika mengikut Yesus mereka masih sempat menyiapkan bekal makan.
Sehingga ketika itu mereka saling berbagi dan makan.
Namun
penafsiran
sederhana ini tidak berasal dari sebuah kajian ilmiah, ini hanya asal tafsir
berdasarkan situasi
saat itu. Entah benar entah tidak, hanya dalam iman kita percaya bahwa belaskasihan Yesus
menyelamatkan semua
orang yang
sedang kelaparan itu.
Kembali
ke cerita tentang
pasar di atas. Saya seorang yang jarang ke pasar. Jika saya mau masak, maka
saya tinggal pesan ke ibu yang tukang belanja pasar. Sesekali juga ikut belanja tetapi saya tidak pernah menawar barang jualan di pasar. Tidak
pernah, apalagi jika
saya melihat penjualnya orangtua dan tampak saederhana. Karena itu jika saya
sedang berlibur di
rumah orangtua,
saya tidak diperkenankan ke pasar. Kalaupun terpaksa ke pasar saya mesti
ditemani oleh orang lain. Karena pasti belanjaan saya tidak baik dari segi
mutu (menurut orang yang pinter belanja, padahal meurut saya sudah bagus
banget) dan satu lagi saya tidak pernah
menawar.
Begitu
bertanya berapa harga sebuah barang entah sayur, ikan, daging, udang, buah,
bumbu dll, saya langsung membayar. Kadang kalau saya merasa harga terlalu
tinggi dan tidak wajar maka saya hanya menatap tajam penjualnya seolah-olah mau
berkata,”ah yang benar
saja harganya” masak tak masuk akal begini?”
Biasanya
kalau sudah ditatap tajam seperti itu mereka langsung menurunkan harga barang.
Atau ketika lagi mendengar
harga yang disampaikan terlalu mahal maka dengan diam saya akan beranjak. Saya
pikir daripada saya menawar, mending saya cari di tempat yang lain saja.
Mengapa saya tidak menawar di pasar? Saya pikir mereka itu orang kecil dan tidak
punya uang. Saya menawar dan mereka terpaksa setuju itu untungnya ada saya dan
ruginya pada mereka. Apakah dengan menawar saya akan jadi orang yang miskin dan tak punya apa-apa?
Apakah dengan membayar harga tanpa menawar akan membuat pedagang kecil itu menjadi kaya?
Jawabannya tentu saja tidak. Saya ingat ucapan seorang teman baik, katanya, “Apakah dengan memberi kita
menjadi miskin dan tidak punya apa-apa?” “Orang yang kita beri atau
tolong pun tidak akan
menjadi kaya karena pemberian kita”!
Begitu
prinsip saya sehingga jika berhadapan dengan orang kecil saya menyadari bahwa
Tuhan tengah memberi kesempatan kepada saya untuk membantu dia. Jarang-jarang
loh diberi kesempatan ini sama Tuhan. Maka marilah kita mulai berbelaskasihan
kepada orang lain dengan berbagi, memberi
dari kekurangan kita. Meneladan contoh dari para murid yang memberi roti dari kekurangn
mereka, maka semuanya akan ditambahkan kembali oleh Tuhan.
Komentar