Dalam Sepi Kami Melambai
Seharusnya hari
ini kami bersorak sorai menyambut Yesus sahabat kami masuk kota Yerusalem
sebagai raja, dan sesudah itu kami semua juga yang membunuhNya dengan kejam.
Hari ini dalam sepi kami tetap memperingat acara ini, kami memegang daun palem,
kami bernyanyi, kami berjalan mengiringi DIA tapi dalam suasana yang lain.
Daun palem kami ambil di
kebun, kami menghias kapel dengan daun palem dan berusaha sekkuat tenaga agar
nuansa itu tetap ada. Kami beryanyi dan mulut kami tetap mendaraskan doa.
Sejak kemarin kami semua
sudah bergerak ke kebun, kami beramai-ramai memetik daun palem yang ada, lalu
seorang teman membawanya ke gereja untuk diberkati pada misa live streaming
hari Sabtu sore. Dengan cara masing-masing kami berusaha untuk tekun menyiapkan diri. Ada yang menghias kapel, ada pula
yang membentuk daun palem menjadi rangkaian yang indah dan enak dilihat.
Ada yang menghias ruang
makan juga dengan rangkaian daun palem, dan beberapa rangkaian kami kirim ke
kapel kecil di gereja. Ketika sedang menghias kapel, kami menghidupkan dalam
hati kami, rasa ingat akan Yesus yang akan mati tapi sebelumnya dielu-elukan.
Secara pribadi saya
mengenang percakapan Yesus dan para murid, ketika IA meminta mereka untuk pergi
mencari keledai untuk dijadikan binatang tunggangan ketika masuk kota.
Barangkali para murid ragu sehingga IA langsung berucap, ketika ada orang yang
bertanya mengapa kamu meminta keledai, maka katakanlah bahwa Tuhan
membutuhkannya.
Kalimat “Tuhan membutuhkan”
menjadi bahan perenungan yang tak bertepi. Tuhan membutuhkan apa? Dalam cerita
sangat jelas kalau yang dibutuhkan adalah keledai sebagai binatang tunggangan.
Jaman Yesus hidup, keberadaan binatang menjadi tolak ukur keadaan ekonomi masyarakat.
Kalau orang punya hewan besar entah sapi, kerbau maka hampir pasti dikatakan
itu keluarga berada. Stigma ini juga masih berlaku sampai saat ini.
Maka pergilah para murid
menuju kota dan mendapati sama persis seperti yang Yesus katakan, mereka
mengambil keledai lalu membawanya kepada Yesus . Tidak diceritakan dalam kitab
suci apakah ada yang bertanya mengapa mereka mengiring keledai padahal itu
bukan milik mereka. Karena Tuhan membutuhkan maka tidak ada yang bertanya,
seolah-olah mereka semua sudah tahu bahwa tugas menggiring kedelai itu atas
perintah Tuhan.
Ketika IA masuk kota Yerusalem,
semua orang menyambut dia dengan gegap gempita. Diceritakana ada yang
melambai-lambai ranting pohon, ada pula yang membentangkan kain di sepanjang
jalan agar kaki Tuhan tidak kotor (walau sebtulnya tidak perlu karena Yesus
berada di punggung keledai.
Peristiwa gegap gembita ini
adalah awal dari sebuat penderitaan yang akan IA alami, gembira pada awal dan
akhirnya menderita sengsara dan mati. Perisitwa gegap gempita ini sudah saya alami
sejak masih kecil ketika merayakan minggu palem di kota kecil kelahiran. Jarak
yang kami tempuh cukup jauh untuk mengarak Tuhan sebagai raja. Kami semua warga
kampung memegang daun palem yang paling bagus dan bernyanyi dengan gembira
samgbil bernyanyi sepanjang jalan. Karena perayaan ini setahun sekali maka
biasanya panitia di kampung menyiapkan dengan baik. Dua hari sebelumnya sudah
ada petugas yang ke hutan untuk memetik daun palem lalu menyimpannya dengan
baik sehingga ketika saatnya tiba, semua orang kampung mendapat bagian
satu-satu.
Seingat saya daun palem di
kampung waktu itu sangat besar dahannya dan benar itu daun palem yang asli,
juga banyak duri dibagian batangnya . Kalau daun palem yang sekarang kami cukup
memakai daun palem yang kecil dan lembut yang biasa di tanam di banyak
pekarangan rumah penduduk.
Saya bertemu lagi daun palem
yang besar seperti di kampung saat saya mengikuti perayaan hari Minggu Palem di
Vatikan bersama bapak Paus beberapa tahun yang lalu. Saya berjuang sekuat
tenaga untuk bisa duduk di bagian depan agar bisa mengikuti misa tanpa
gangguan. Sebetulnya orang di Eropa ketika pada hari Minggu Palem, mereka
memakai daun olive atau daun dan ranting zaitun untuk mengelu –elukan Yesus.
Tetapi ada pengecualian untuk para petugas liturgi. Untuk mereka ini diberikan
daun palem jenis besar dan harus dipegang dengan kedua tangan dan berjalan pelan
dalam perarakan menuju ke altar. Saya memperhatikan dengan teliti, apakah daun
palem yang sedang saya lihat saat itu sama dengan yang sering kami pakai di
kampung. Ternyata sama persis, bahkan ada yang memegang daun kelapa.
Saat ini Minggu Palem dalam
sepi, kami tidak bertemu bangku di gereja, tidak lagi menyapa altar atau
mendengar imam menyapa kami dari atas meja mimbar. Kalau biasanya kami saling
melempar senyum dan menyapa sesama umat bahkan memberi salam dan sedikit
bincang-bincang sederhana, sekarang sepi. Kami hanya di rumah, ada yang melihat
live streaming di TV, ada yang merayakan ibadat di kapel tanpa imam. Sampai
dengan hari ini sudah berjalan 3 minggu, sudah agak lama kami berpisah dan
tidak saling melihat. Bagaimana perasaan kami? Amat jelas kami kesepian, kami
rindu bertemu Tuhan yang nampak dalam diri sesama kami, kami ingin berbincang
tentang kebaikan Tuhan yang telah kami terima, kami ingin agar semua orang kami
jumpai saling memberi aura positif yang kami terima sendiri dari Allah,
Dalam sepi kami tetap
bersyukur pada Tuhan, kami tetap melambai daun palma kami seraya berseru semoga
virus setan ini segera mungkin menjauh dari negara dan bangsa kami. Sembari
melambai dalam sepi, kami tetap berdoa semoga lambaian palem kami mengusir wabah
berbahaya dari keluarga kami, dari komunitas kami, dari keluarga kami, dari
teman-teman kami, dari anak didik dan
keluarga mereka, dari guru karyawan dan keluarga mereka.
Dalam sepi kami semakin
ramai berdoa dan tak henti berpasrah, terjadilah pada kami seturut kehendakMu.
Komentar