Scala Santa atau Tangga Suci
Hari ini menulis tentang
tangga suci yang sering disebut Scala Santa. Tangga suci ini memiliki 28 anak
tangga menuju ke kapel “Sancta Sanctorum, yakni tempat suci dari orang-orang
kudus, yang sejak abad pertengahan berbatasan langsung dengan Basilika Santo
Yohanes Lateran.
Dari rumah kami sudah
membawa persiapan lengkap, makanan secukupnya, tiket bis, minum dan camera.
Maka pergilah kami menumpang bis yang dicegat depan rumah. Bis nomor 51 lsampai
Termini central Station nanti akan ganti
bis. Lepas dari situ jalan sebentar dan sampai. Kami serombongan masuk dulu ke
basilika melihat arsitektur kuno yang bagus.
Basilika Yohanes Lateran ini
sering disebut dengan San Giovanni Laterno dan dianggap memiliki rangking
tertinggi jika dibandingkan dengan empat basilika lain di kota Roma, soalnya
basilika ini merupakan gereja resmi bagi uskup Roma yakni Sri Paus sendiri.
Basilika San Giovanni
Laterno ini menjadi special untuk saya karena di sampingnya berbatasan langsung
dengan basilika ini ada Scala santa atau tangga suci. Di halaman tempat ini
banyak pedagang kecil yang menjajakan beberapa barang rohani seperti rosario
dengan berbagai warna dan model, tentu saja harganya juga beda. Ada juga patung
kudus, keluarga Nazareth, beberapa santo dan santa serta buku rohani dan pernik
pernik lainnya. Para pedagang begitu semangat menawarkan dagangannya mereka
kepada semua peziarah yang datang termasuk kepada rombongan kami. Saya
memperhatikan para pedagang itu agak
memaksa pengunjung untuk berbelanja. Batinku mengatakan mereka mungkin
membutuhkanuang untuk idup sehingga dengan sigap menawarkan jualannya. Kami
membeli beberapa barang kecil karena kalau diperhatikan harga barng di tempat
ini sedikit lebih mahal jika dibandingkan di tempat ziarah yang lain.
Menurut tradisi, Yesus
memulai jalan salibNya di atas tangga-tangga ini. Oleh karena kesuciannya,
tangga-tangga ini maka para peziarah tidak berjalan kaki seperti berjalan di
atas tangga-tangga biasa, melainkan harus dengan lutut sambil berdoa dan
merenung. Tangga itu terbuat dari batu pualam, tapi untuk menghindari kerusakan
maka pada abad ke 18, Paus berupaya untuk melestarikannya dengan menyuruh
menyelubungkan pualam-pualan itu dengan lapisan kayu. Tetapi sejak tahun 2012
Vatikan memulai karya restorasi di Scala Santa dan memutuskan untuk melepaskan
semua lempengan kayu pembungkus untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Maka
ketika itu lutut terasa dingin karena lutut kita langsung kena pada ubin
pualam.
Saya ingat ketika itu saya ikut mengantri di
barisan panjang itu. Dari belakang banyak sekali orang yang ingin berdoa sambil
berlutut di tangga suci ini. Saya yakin orang-orang ini ingin berdoa dan
mempunyai ujud khusus. Sambi antri saya memperhatikan orang-orang yang
mengantri bersama saya, saya ingin menyapa mereka tapi saya segan karena
kelihatan mereka larut dalam doa, karena itu saya juga akhirnya sambil berdoa
dan berbaris. Di belakang saya ada seorang bapak tinggi besar dan di depan ada
seorang pemuda yang juga ingin berjalan di tangga. Lama mengantri lalu
kesempatan untuk berlutut di anak tangga pertama. Saya telah menyiapkan diri
bahwa saya pasti akan bisa, saya tidak akan capek dan saya akan berdoa dengan
tekun.
Mungkin karena mmepunyai tekad yang kuat, perlahan-lahan saya bisa menapaki
anak tangga itu sambil berlutut. Menjadi agak lama karena ketika saya sudah
selesai berdoa dan hendak naik ke tangga berikutnya, orang di depan saya masih
kusuk berdoa dan lamaaa sekali gak naik-naik, sedangkan di belakang saya orang sudah
selesai berdoa dan mau naik, maka terpaksa menunggu. Sederetan saya di anak tangga yang
sama itu kira-kira 8 orang dan kecepatan tiap orang untuk naik anak tangga
berbeda, terpegantung cepat atau lama ia berdoa. Sekali lagi sambil berdoa dan
menapaki anak tangga suci itu saya memperhatikan semua orang yang hadir bersama
saya, mereka dengan tekun berdoa, ada yang bersuara pelan tapi ada juga yang
mengucapkan doanya agak keras, hanya saya tidak paham doa yang dia ucapkan. Tak
apalah yang penting Tuhan tahu. Sejenak saya tergerak untuk mendoakan mereka
smeua, batin saya berkata, Ya Tuhan, dengarkanlah doa-doa yang mereka panjatkan
ini, saya yakin engkau tahu yang terbaik untuk mereka.
Sampai di anak terakhir ada
rasa lega tersendiri, jangan ditanya betapa sakitnya lutut di anak tangga awal,
tapi karena sudah punya niat maka dengan teguh tetap berlutut dan berdoa. Tidak
sedikit godaan untuk keluar dari barisan dan berdiri, tapi sekali lagi doa yang
tak putus memampukan saya untuk naik setapak demi setapak sambil berlutut
hingga selesai. Saya juga sempat melirik ke arah beberapa teman saya yang
sederetan atau yang di tangga atas saya, mereka juga tekun berdoa, entah apakah
mereka juga mengalami godaan untuk berhenti atau tidak seperti saya.
Ketika sampai tangga paling
atas, saya mengucap syukur karena diberi kesempatan untuk turut merasakan
sedikit penderitaan Tuhan. Saya tidak ingin mengatakan bahwa perbuatannaik
tangga dengan cara berlutut itu menderita, tetapi bahwa mengalahkan keinignan
hati sendiri itu yang paling berat dan serasa itu sebuah derita. Maka setelah
selesai saya berdoa, menyampaikan rasa terima kasih yang besar padaNya.
Bagian atas Scala Santa itu
ada sebuah ruang untuk berdoa atau misa. DI sekelilingnya ada banyak gambar
suci dan patung, serta ada altar untuk kurban misa. Selain itu disediakan juga
ruang untuk pengakuan dosa bagi orang yang mau. Waktu saya berada di tempat
itu, saya melihat ada beberapa orang yang ingin mengaku dosa dan menerima
sakramen pengakuan dosa dari romo. Saya hanya melewati tempat itu dan melanjutkan
melihat-lihat tempat yang lain di sekitar tangga suci.
Perisitwa berdoa sambil
berlutut naik tangga di Scala Santa ini mengingatkan saya akan sengsara Yesus,
di mana Ia berjalan dalam suasana derita, berbeban berat. Kondisitubuh yang lemah dan penuh dengan
tetes-tetes keringat dan darah. Di tengah rasa mencekam dan takut IA tetap
setia berjalan sampai di puncak golgota. Ini bukan perjalan biasa, tapi
perjalan salib. Salib bukan sekedar kayu palang berat saja tetapi lebih dari
itu umpatan, cemooan, caci maki semua orang yang ditujukan kepadaNya. Cacian
dan cemooh banyak orang ini terasa lebih menyakitkan dibanding memikul salib
yang berat.
Ketika tengah berlutut di
tangga suci, saya mengenang dengan penuh kasih semua kebaikan yang telah saya
dan semua orang terima karena berkat penebusan tubuh dan darah Yesus. Kenangan
yang manis ini memampukan saya dan semua orang yaang ada dit empat itu untuk
turut mengicipi sedikit rasa tidak enakyang pernah dialami Yesus. Akhir dari
semua rasa itu berbuah manis. Saya merasakan bahwa hidup semakin damai, ada
banyak hal yang saya inginkan tercapai, kegembiraan semakin terpancar keluar
dan semakin berpasrah pada kehendak Dia. Tangga suci atau Scala Santa memberi
kesadaran untuk semakin menyadari bahwa apapun yang kita inginkan jika disertai
dengan mati raga dan puasa serta sedikit rasa sakit, akan diperhatikan oleh
Tuhan.
Kapan-kapan kita akan bertemu lagi ya Scala Santa.
Komentar