Asisi
Asisi sebuah kota kecil di wilayah Umbria
Propinsi Perugia Italia. DI tempat ini lahir seorang Santo besar yang bernama
St Fransiskus pendiri ordo Fransiskan. Terletak diketinggian 424 meter di atas
permukaan laut dengan luas wilayah 186,8 km2. Udara di Asisi sejuk bahkan
cenderung dingin. Jarak dari kota Roma kira- 3 jam naik kereta cepat.
Dari stasiun Termini, kita naik kereta
jurusan Foligno lalu seterusnya ke Asisi. Pemandangan indah sepanjang
perjalanan berupa lembah dan kota-kota kecil. Waktu itu saya perginya di
permulaan musim semi sehingga sisa-sisa salju masih nempel di antara daun dan
pohon, diatas rel kereta api bahkan saya melihat masih ada tumpukan kecil salju
di sebelah rel kereta api berbatasan dengan rumput. Sebagai orang yang baru
pertama kali melihat salju tentu pemandangan ini amat spesial, tak
henti-hentinya saya memandang keluar jendela kereta cepat, dan kalau kereta
berhenti di stasiun tertentu, maka saya menggunakan kesempatan untuk memandang
rel kereta yang ada saljunya. Perjalanan menyenangkan, beberapa kali kondektur
(Pembantu masinis) hilir mudik memeriksa tiket penumpang secara online,
kondekturnya masih muda, cakep dan tinggi, hidung mancung, iyalah tipikal orang
bule kan pasti begitu kan?
Tiba di Asisi
Udara dingin 4 derajat Celcius, untuk orang yang tinggal di daerah tropis, suhu segini sangatlah dingin, tetapi bagi yang terbiasa tinggal di daerah empat musim, maka suhu udara seperti ini dikatakan biasa. Tiba di Asisi disambut udara dingin menggigit, salju masih ada terbang hinggap di baju dan jaket kami bahkan angin agak kencang sampai seakan-akan mau menerbangkan syal kami. Saya secara pribadi amat senang melihat salju dan berusaha menangkap salju yang beterbangan. Begitu hinggap ditangan ia langsung lumer menjadi air. Angin yang kencang membuat saya enggan berdiri di luar stasiun, beberapa dari antara kami berlindung di balik tembok-tembok besar stasiun ruang kedatangan dan beberapa tetap berdiri di luar menunggu kendaraan yang akan menjemput kami menuju penginapan. Saya sendiri memilih berdiri di dalam ruangan karena udara dingin yang menampar-nampar pipi lama kelamaan terasa sakit dan menggigit.
Perjalanan ke penginapan kami tempuh kurang lebih 30 menit melewati jalanan kota tua yang indah, penuh bangunan=bangunan putih dan dataran pohon olive. Saya berusaha melihat kota Asisi secara seksama, seperti layaknya kota-kota kecil di Eropa, Asisi juga tak luput dari jalanan turun naik karena ada dataran tinggi dan lembah.
Katedral
Saya melihat banyak sekali
peziarah atau turis yang hilir mudik, kebanyakan dari mereka adalah
berjalan ke katedral yang disebut dengan nama Basilika Of Saint
Francis of Asisi. Basilika ini didirikan pada tahun 1228 yang terdiri dari dua
bangunan gereja. Bagian atas tempat luas dengan banyak ruang-ruang kecil
semacam kapel untuk tempat berdoa kelompok-kelompok orang yang datang
berziarah, juga terdapat tanah lapang di depannya yang sangat bagus. Sedangkan
bagian bawah adalah semacam gereja pada umumya, terdapat makan St Fransiskus
dan makam St Clara. Dinding
gereja dipenuhi dengan lukisan Fresco dan pelukis-pelukis terkenal lainnya
seperti : Cimalue, Giotto, Simone Martini, Pietro Cavalline. Jasad ST
Fransiskus dikebumikan di makam bawah tanah di basilika ini. Tahun 1818, di
tempat pemakaman ini ditemukan relikwi ST Fransiskus dan disimpan dalam peti
batu, diamankan untuk kemudian diabadikan di atas altar. Sebetulnya makam batu
ini masih juga menjadi pertanyaan banyak orang, apakah betul di dalamnya
terdapat jasad St Fransiskus, tapi para pengikutnya di seluruh dunia merasa
yakin dan percaya bahwa di situ memang telah berbaring orang suci pendiri ordo
Fransiskan.
Katedral, basilika atau duomo ini dijaga
oleh para Imam Kapusin. Pakaian para imam unik, jubah panjang berwarna hitam,
ada juga berwarna abu-abu dengan tutup kepala semacam tudung tetapi hanya
dibiarkan menjuntai di belakang kepala dan panjang jubah mereka sampai ke mata
kaki. Kami sempat mengunjungi biara mereka yang sebetulnya tertutup untuk umum.
Tetapi karena kami mengenal seorang imam kapusin asal Indonesia yang kebetulan
waktu itu bertugas menjaga makam, maka kami diperkenankan masuk ke dalam biara
mereka, tentu saja atas persetujuan pemimpin biara.
Waktu itu kami punya kesempatan untuk
merayakan ekaristi di sana di makam ST Fransiskus dengan menggunakan misa
Bahasa Indonesia, saya senang karena ketika itu saya kebagian lektor, maka
dengan senang hati saya lakukan tugas itu. Di tempat lain dalam basilika ini
juga banyak tersedia kapel atau altar lain tempat orang boleh merayakan misa
dengan imam yang tentu saja mereka bawa sendiri, selain itu juga banyak sekali
para peziarah, entah datang dari mana mereka semua ini, kebanyakan adalah orang
muda. Batin saya ramai berucap tentang hal ini, betapa St Francis memiliki
pengaruh yang besar bagi umat dewasa ini, tidak saja kepada kaum tua tetapi
juga kaum muda. Melihat mereka berdoa dengan khusuk, menatap mereka semua
ketika saya lagi berkeliling gereja dengan seorang guide, membuat saya
bersyukur bahwa ternyata masih banyak gereja yang didatangi oleh kaum muda.
Masih banyak orang muda yang peduli dengan kehidupan menggereja, dan semua itu
tentu tidak lepas dari pengaruh orang suci zaman dulu St Francis.
Penginapan Kami
Penginapan kami kecil tapi rapi dan
bersih. Begitu masuk, kami bertemu lobby mungil dengan seorang ibu muda yang
menerima kami, ia menyapa kami dengan ramah, memberi penjelasan seperlunya tapi
lumayan detil lalu memberikan kunci kamar kepada masing-masing kami.. Karena di
luar masih ada salju maka saya memutuskan untuk tidak segera masuk
kamar, saya keluar lagi dan bermain dengan salju. Beberapa teman mengikuti saya
maka akhirnya kami bermain-main sambil tertawa, beberapa orang yang berjalan di
jalan luar hotel melihat kami dan mereka ikut tersenyum melihat tingkah kami,
begitulah kegembiraan itu menular, maka ketika orang melihat kita bergembira,
dengan sendirinya mereka juga ikut tersenyum dan merasa gembira. Salju yang
melayang-layang, dikejar lalu tangkap bahkan ada salju yang hinggap di atas
daun, kami menunggu beberapa saat sampai agak banyak lalu mengambilnya dan
melempar kepada teman lain.
Kamar saya di lantai dua, kecil dengan dua
tempat tidur, satu kamar persis mepet dinding kaca menghadap jalan. Dinding
kaca ini membuat saya bisa memandang ke luar, ke arah jalanan atau ke bukit
yang menjulang tepat di depan penginapan. Walau bukit tapi banyak rumah-rumah
yang tertata rapi, bahkan di bukit itu nanti kami akan pergi mengunjungi gereja
yang diyakini sebagai rumah kelahiran dan masa kecil St Fransiskus. Kamar mandi
walau kecil tapi lengkap, ada kamar mandi dalam lengkap dengan air panas,
bahkan sekaligus wastafel dan tempat dandan yang juga mungil yang terbuat dari
batu. Dinding kamar mandi terbuat dari kaca, jadi kalau sehabis mandi, kami
harus membersihkan dinding itu dengan lap agar tidak meninggalkan sisa-sisa air
yang dapat menjadi kerak kotoran kalau terlalu lama dibiarkan, atau jejak kotor
setelah kering nanti.
Saya sekamar dengan Gita, teman saya yang
manis, lucu, suka berbicara jujur dan apa adanya. Gita ini suka bangun
pagi-pagi untuk berdoa, saya senang berbagi kamar dengannya untuk beberapa
hari. Ada hal menarik yang Gita punya dan tidak dimiliki oleh teman saya yang
lain, begitu bangun ia akan beres-beres tempat tidur dan nyalakan lampu tapi
dengan bunyi yang tidak kecil. Saya tidak keberatan tentang itu semua asal
tidak mengganggu saya yang lagi tidur. Masalahnya saya bukan orang yang suka
bangun pagi, saya suka molor kalau tidur, maka ketika ada bunyi-bunyian di pagi
buta maka saya akan terbangun dan sudah gak bisa tidur lagi, dan saya jengkel
akan situasi ini, maka ketika kami berdua mau siap-siap tidur, saya bilang pada
Gita, ayo kita buat kesepakatan, siapa yang bangun lebih dahulu dilarang untuk
menyalakan lampu kamar atau membuat berisik, hehehe,,, Gita sepakat maka
keesokan harinya ketika hari masih gelap, Gita sudah bangun tapi ia diam
meringkuk di balik selimut, menunggu jam bangun kesepakatan kami. Lama setelah
itu dia cerita, kak Herlin (ia memanggilku kakak), waktu itu saya sudah bangun
dan menunggu-nunggu, kapan kakak Herlin bangun. Saya jawab, iya saya juga tahu
kalau dirimu sudah bangun dan bergerak gelisah di dalam selimut, kapokmu kapan,
hahahhaa... Gita juga adalah seorang sahabat sepanggilan yang menyenangkan.
Kembali pada rumah penginapan kami di Asisi
yang kecil dan rapi, ada tangga yang turun seperti ke ruang bawah tanah, yang
ternyata menuju ke kapel kecil nan manis. Rupanya hotel ini khusus untuk para
peziarah rombongan yang membawa imam sendiri supaya dapat misa sendiri. Kalau
tidak hati-hati turun ke kapel maka kepala kita bisa kejeduk dengan ruang di
atasnya, demikian juga ketika kita hendak keluar dari kapel. Ini karena
kontruksi bangunan yang disesuaikan dengan kontur tanah yang turun naik dan
serba kecil. Menurut saya penginapan ini lumayan nyaman. Setiap pagi kami misa
dikapel bawah tanah, kebetulan kami membawa buku nyanyian sendiri dari
Indonesia sehingga kami dapat mengiringi misa dengan lagu-lagu yang bagus,
hasil karya para penulis lagu yang kami kenal juga beberapa diantara kami ada
yang pinter menulis nada dan lagu. Setiap pagi kotbah romo selalu menyegarkan,
beliau selalu berbicara dari pengalaman pribadi dan itu sangat menyentuh hati
kami, pengalaman ini ia kaitkan dengan bacaan harian maka semakin lengkaplah
perziarahan kami.
Makanan di Hotel
Makan pagi di hotel sederhana tapi
lengkap, ada roti Perancis yang keras itu, beberapa jenis roti lain, selai juga
beraneka ragam, susu segar, gula, buah lengkap walaupun sekian sering saya
cuman ketemu pisang, apel, jeruk dan anggur. Untuk saya sepagi itu saya wajib
minum susu, lalu makan roti lengkap yang diisi mentega dan sosis,
makan buah sampai kenyang dan minum jus, hehehe.... nampaknya makan saya gembul
ya, iya sih soalnya saya gak ketemu nasi , jadi ya makan yang ada makan sampai
kenyang , saya tidak mau sakit di negeri orang, selain karena biaya rumah sakit
mahal juga karena saya tidak mau merepotkan orang lain. Begitulah setiap pagi
saya berusaha dengan sepenuh hati makan yang banyak. Kalau makan siang biasanya
kami beli atau bawa bekal. Ketika masih di Roma setiap kali bepergian kami
selalu membawa bekal dari rumah. Setiap orang menyiapkan sendiri bekal sesuai
dengan keinginannya, sehingga perjalanan ziarah kami semacam piknik
kecil-kecilan. Nanti kami mencari tempat yang enak di bawah pohon atau di tanah
yang agak lapang, lalu duduk dan makan, menurut saya ini pengalaman amat
menarik karena kami tidak perlu repot dengan orang lain, mereka juga sama
seperti kami, makan di tempat seadanya tanpa harus malu.
Nah
tentang makan malam di hotel kami nan mungil di Asisi ini, tersedia makanan
Eropa seperti spaggeti, daging panggang yang gede luar biasa, anggur manis,
salad sayur dan lain-lain, yang membuat kami mau tidak mau kami
harus makan. Untunglah ketika kami bertolak dari Roma ada beberapa temanku
membawa sebotol besar sambal cabe keriting, jadi lumayanlah sebagai teman lauk
kami ketika makan di penginapan. Gimana ceritanya sampai kami bisa mendapatkan
cabe keriting itu? Kebetulan kami pernah berkunjung ke sebuah biara para romo
untuk misa, eh disana kami bertemu beberapa romo orang Indonesia yang memang
tugasnya di situ, bahkan ada juga seorang bruder Indonesia yang kerjanya tiap
hari di kebun sayur. Kami diceritain kalau kebun sayurnya lagi lebat siap
panen, punya cabe juga banyak sekali, beliau seolah-olah mau pamer dengan kami,
maka ketika melihat cabe sebanyak itu dan hendak dipanen, kami berceloteh
macam-macam, nah si brudernya ketika mendengar komentar kami, entah karena
kasihan sama kami atau karena stok cabe banyak, maka kami dibekalin cabe ketika
pulang. Katanya, di sini tidak banyak orang yang suka makan pedas, kalian bawa
saja. Ah pucuk dicinta ulam tiba, kami dengan gembira membawa pulang dan sampai
di rumah segera membuat sambal dalam jumlah yang banyak. Sambal ini akhirnya
kami bawa ke mana-mana.
Kontur Tanah dan Rumah Penduduk
Kota Asisi dengan kontur tanah yang turun
naik akhirnya membawa kami menuju ke rumah St Fransiskus, kami bertemu gereja
masa kecilnya yang sebetulnya itu rumah tapi telah dibuat gereja, kami berjalan
keliling dan menyaksikan betapa keharuman St Fransisikus sangat terasa di situ.
Rumah-rumah penduduk banyak terbuat dari batu dan dingin, dengan bentuk yang
sederhana. Saya menyempatkan diri memandang tanaman hias yang banyak di depan
rumah penduduk, ada kembang dan beberapa tanaman lkecil lain yang biasa saya
lihat di daerah pegunungan seperti di puncak. Tangga-tangga pada umumnya
terbuat dari batu dan rapi sehingga tidak membuat orang takut untuk berjalan.
Kami juga bertemu beberapa penduduk desa, kami menyapa, tersenyum dan mereka
dengan ramah membalas sapaan kami.
Assisi adalah kota kecil bersejarah diatas
bukit dengan luas 187 km persegi yang dikelilingi pemandangan indah sejauh mata
memandang. Jalan menuju kota ini berkelok kelok dengan tanjakan yang curam.
Bangunan-bangunan tua peninggalan Romawi dan jalan bebatuan kunonya,seperti
mesin waktu yang membawa kita ke masa lalu. Assisi sangat populer sebagai
tempat ziarah umat Katolik. Setiap tahunnya kota ini dipadati 4 sampai 5 juta
pengunjung.
Semua ini saya lihat ketika kami berjalan
keliling hendak menuju ke rumah St Chiara (Klara) yang adalah teman
seperjalanan Fransiskus dalam melayani. Kami sempat berdoa dalam kapel itu ,
saya merasakan ada banyak jejak kesucian yang tidak bisa saya ungkapkan dengan
kata-kata, saya hanya bisa merasakan, saya tahu kalau orang-orang suci itu lagi
hadir bersama saya dalam ruangan yang kecil dan tertata rapi ini.
Cerita Tentang Fransiskus
Tentang St Fransiskus ini saya punya
perbendaharaan cerita yang cukup banyak yang berasal dari bacaan juga
pengalaman mendengarkan ketika orang bercerita tentang beliau. Ia sangat suka
berbicara bahkan berkotbah dengan burung-burung. Diceritakan ketika itu Ia dan
para pengikutnya sedang dalam perjalanan ke lembah Spoleto dekat kota Bevagna,
ia terpesona dengan pemandangan begitu banyak burung berbagai jenis yang sedang
bermain, ia meninggalkan para muridnya lalu berlari mengejar burung-burung itu,
dan anehnya burung-burung itu dengan sabar menunggu kedatangannya
bahkan tidak ada yang beterbangan. Ia menyapa semua burung itu dan kemudian
memberikan firman Tuhan kepada mereka burung. Ia menyapa para burung dengan
saudara dan saudari burung. Sebagai reaksi atas kata-kata Fransiskus, para
burung itu mengepakkan sayabnya sebagai tanda untuk memuji Tuhan.
St
Fransiskus juga suka menasihati ikan dan kelinci agar selalu berhati-hati dalam
hidup. Kedua binatang ini pernah ditangkap pemburu dan entah karena suatu hal
Fransiskus bisa mengetahuinya, maka ia menasihati mereka (Kelinci dan ikan)
agar selalu memuji sang Pencipta. Dan sangat mengherankan bahwa
binatang-binatang itu mendengarkan dia.
Cerita yang paling terkenal adalah kisah
Fransiskus menjinakkan serigala yang meneror rakyat kota Gubbio. Serigala ini
sangat ganas, semua penduduk takut kepadanya. Maka Fransiskus memberanikan diri
menemui serigala, Fransiskus ingin berbicara kepadanya supaya jangan mengganggu
penduduk desa. Fransiskus mengawalinya dengan tanda salib dengan
berteriak dalam nama Tuhan Yesus aku memerintahkan kamu untuk tidak menyakiti
penduduk desa, dan sungguh ajaib, serigala menuruti kata-kata Fransiskus, dan
pada akhirnya Fransikus berkotbah kepada serigala tentang kemurahan Tuhan dan
cinta Tuhan untuk semua mahkluk. Oleh karena itu semua kita adalah saudara yang
harus saling mencintai.
Secara pribadi saya juga cinta dengan
orang suci ini. Kecintaan saya terletak pada kesederhanaannya dan rasa sayang
yang mendalam kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Fransiskus mengajarkan pada
saya untuk ikut mencintai semua yang Tuhan berikan karena kami semua adalah
ciptaan Tuhan. Kesederhaan yang paling kentara ketika saya mengunjungi tempat
tinggal atau tempat bertapa orang suci ini. Saya lupa nama tempat
ini, untuk masuk kedalamnya kita harus turun melewati tangga sempit
dan mesti hati-hati karena kalau tidak hati-hati maka kepala akan terbentur
keras dengan anak tangga bagian atas kepala . Untuk turun ke tempat ini kita
harus mengantri satu persatu karena lorong dan tangga ini sempit banget, hanya
cocok dilalui satu orang dan tidak gemuk. Sambil menuruni tangga saya sempat
berpikir bagaimana dengan orang yang gemuk ya, pasti sempit. Sampai di ruang
tempat ia bertapa, kelihatan kamar yang kecil dan sederhana, tidak ada
perabotan yang berarti, jendela juga seadanya, tempat untuk berbaring juga ah
biasa saja. Yang terpenting dari semua itu saya menyadari bagaimana ia hidup
jika musim dingin? Apakah tempat ini cukup memberi kehangatan padanya? Ah orang
hebat, saya berbincang dengan batinku sendiri bahwa karena kesederhanaannya, ia
menjadi dekat dan tahu lebih banyak tentang penciptanya. Setiap hari ia bergaul
dengan Tuhan, maka semakin lama ia semakin menjadi sama dengan Dia yang ia
hidupi setiap hari. Oh Santo Fransiskus, semoga teladan hidupmu yang penuh daya
tarik ini mampu memberi daya juang pada kami semua untuk juga mau hidup
sederhana dan menerima resiko apapun dalam karya pelayanan di zaman ini. Dalam
lubuk hati yang terdalam saya berharap suatu ketika kita akan berjumpa lagi di
Asisi. Sint Francis pray for us!
Komentar