Sahabat Seperjalanan
Kali ini saya bercerita tentang teman-teman seangkatan, kami yang selalu bersama sejak saat pertama memutuskan untuk memulai hidup dengan cara seperti ini. Kami bertemu dengan cara yang sangat istimewa, jumpa kami karena kami mempunyai niat yang sama. Sejak awal jumlah kami berdua belas, tapi karena beberapa alasan tertentu kami tinggal berlima sampai dengan saat ini. Mereka yang lain memutuskan untuk mencari kebahagiann dengan cara hidup yang lain, yang tetap melayani Tuhan dan sesama dengan cara mereka sendiri.
Kami berlima berasal dari berbagai lataar belakang
keluarga, suku dan budaya yang berbeda, juga dari sudut pandang pendidikan dan
pola pengasuhan di keluarga, dengan demikian ketika kami bertemu dan hidup
bersama serta menghayati gaya pembinaan yang kami terima, kami jadinya tak
melihat lagi perbedaan itu. Yang ada dan yang kami alami adalah, kami bisa
saling memahami, kami mau menolong satu dengan yang lain, kami senang bekerja
sama dan saling mengisi kekurangan satu sama lain. Sekarang di usia kaul kami
yang ke sembialn belas, saya hendak membuat sedikit refleksi tentang kami
berlima, saya akan mendahuluinya dengan cerita singkat tentang kami
masing-masing. Mulai dari yang ukuran berat badan saja ya, mau mulai dari
faktor umur tapi malu ah, hehehhehe...
Ping
Kami memanggilnya Ping, tapi
dia sering menulis namanya pakai Pink, biar ada romantis-romantisnya gitu, biar
serasa ada warna merah muda di sekitarnya. Memang si Ping ini sangat suka warna
merah muda, semua barangnya dari pensil, gunting kuku, buku tulis, kantong Hp
warnya pink, tapi sepatu dan bajunya gak ada warna pink nya. Ping dari
Kalimantan Timur keuskupan Samarinda, dari suku Dayak. Orang Dayak itu
cantik-cantik, warna kulit pasti putih, rambut lurus, nah temanku ini si Ping
juga demikian orangnya. Ia cantik dan baik, halus lagi perangainya, suka
menolong dan tidak mau ribut. Pokoknya kalau kita bekerja sama dengan dia,
aman, semua pekerjaan pasti beres, dulu waktu kami masih di rumah pembinaan, ia
suka sekali beres-beres dan rapi, kalau tugas di dapur bersama dia, maka kita
mesti siap untuk harus selalu rapi. Habis masak, panci-panci bersih dan telah
berada di tempatnya, demikian juga kalau giliran membersihkan toilet, aman dan
nyaman.
Ping tidak suka keributan, jika ada sesuatu masalah ia akan berusaha menyelesaikan dengan baik walau kadang terdengar suaranya gede juga untuk menegur orang. Dulu ketika masih tinggal bersama di rumah pembentukan, kami mempunyai sebuah acara penting yakni bercerita tentang keluarga, kampung halaman, adat isitadat, budaya dan lain sebagainya, maka berkat sharing budaya ini masing-masing kami jadi paham satu dengan yang lain. Ping dari Laham tapi ia lebih banyak menghabiskan waktu di Samarinda bersama kakak-kakaknya, oh ia anak bungsu dari 4 bersaudara, orangtua sudah ke surga sejak ia masih kecil (mama) dan (bapak) setelah ia tamat SMA sehingga hampir sebagian waktu dalam hidupnya ia habiskan bersama kakak2nya, sehingga tidak heran jika relasi persaudaraan mereka sangat dekat. Sekarang Ping bertugas di Bandung, ia nampak bahagia bergaul bersama anak-anak usia dini yang menjadi tugas dan pelayannya. Tetap sehat selalu ya sobat!
Erna
Erna manis dan keibuan. Ia
suka masak dan pasti enak. Ia berasal dari Pare Kediri dan berasal dari
keluarga sederhana. Sewaktu kami selesai kegiatan di Salatiga beberapa waktu
yang lalu, kami memiliki kesempatan untuk berkunjung keluarga ke Pare.
Perjalanan ke Pare kami tempuh dengan naik kereta turun di stasiun Jombang,
lalu naik bis ke Kediri, dari Kediri naik ojek ke Pare. Waktu itu kira-kira 15
tahun lalu belum ada ojek online, sehingga kita mesti mencari ojek pangkalan.
Ada kejadian lucu, ketika kami lagi beristirahat di Stasiun Jombang, banyak
sopir-sopir bis atau para calo bis datang menghampiri kami dan mengatakan,
mbak-mbak mau ke mana? Kami antar ya, ini abis dari mana mbak? Hongkong,
Singapore, Malaysia atau Abu Dhabi? Sebetulnya kami kaget dan secara halus kami
menyuruh Erna untuk memberi penjelasan, wong dia satu-satunya yang bisa
berbahasa Jawa... oalah ternyata kami berlima (atau berempat ya) ini dikira
lagi liburan dari kerja di luar negeri. Kami dikira tenaga kerja Indonesia, lha
memang kami membawa koper-koper besar sih. Ceritanya koper besar ini berisi
pakaian dan kebutuhan kami selama beberapa bulan kami tinggal dan berkegiatan
di Salatiga.
Akhir cerita kami mendapat kendaraan bisa dan berangkat ke Kediri, sampai di Kediri kami turun di pangkalan ojek, menawar kendaraan itu untuk bisa menghantar kami ke Pare. Setelah ada kesepakatan, seorang teman kami gak mau naik ojek karena ternyata itu ojek satu dipakai untuk orang dua, lha bagaimana dengan koper kami yang gede itu, mau diletakkan di mana? Teman kami ini rupanya tidak mau naik ojek maka kami semua dengan serentak bilang, ya udah kalau kamu gak mau pakai ojek, jalan kaki saja dan langsung kami yang lain berbalik arah menghampiri tukang ojek yang sudah siap. Eh ternyata dia takut juga ditinggal sendirian apalagi harus jalan kaki yang lumayan jauh, maka berangkatlah kami diiringi dengan keluh kesah sesak-sesakan di motor. Belum selesai persoalannya, begitu nyampe si abang ojek minta bayaran dua orang, ya ampunnn, tambah esmoslah kami, hehehhe. Ya sudah itu cerita dulu tapi masih saya kenang sebagai pengalaman indah.
Seperti keluarga di Jawa dan di banyak tempat lain di Indonesia, kami diterima dengan gembira dan penuh kekeluargaan, demikianlah seringkali saya mengingatkan diriku sendiri bahwa sejak meninggalkan keluarga beberapa tahun yang lalu, secara otomatis Tuhan memberi kami keluarga baru. Setiap berkunjung ke keluarga para suster yang lain, kami sangat menyadari bahwa mereka adalah bagian dari keluarga kami, yang harus kami sayangi dan perhatikan juga. Kami mengenal keluarga Erna semuanya, karena mereka datang ke rumah untuk berkunjung ketika tahu bahwa kami datang. Bahkan di bagian belakang rumah ada tempat tinggal dua eyang putri yang tidak lancar berbahasa Indonesia tapi juga dengan gembira berusaha menyambut kami. Inilah kebahagian-kabahagiaan kecil yang kami alami selama hidup bersama di dalam biara. Kembali pada Erna, ia suka memasak itu sudah pasti, suka kerapihan dan tidak terlalu suka banyak bicara, tapi kalau sudah keluar isengnya, maka ia bisa menjadi penyegar suasana dengan kata-katanya yang lucu atau gerak tari yang ia ciptakan sendiri sesuai dengan keadaan hatinya, hehehhe.... Sekian sering saya menyadari bahwa Erna mampu membawa suasana yang tadinya kering menjadi bersemarak kembali. Ia salah satu teman perjalanan yang menyenangkan.
Avin
Kami memanggilnya Avin,
sebetulnya kalau mau dilihat dari nama lengkapnya, gak ada hubungannya dengan
panggilan Avin, entah kenapa kok bisa kami memanggilnya Avin. Avin dari
keuskupan Agung Ende, orangnya penuh perhatian, baik, suka menolong, rajin
kerja. Saya pernah mengunjungi kampung halaman si Avin ini. Dari kunjungan ini
saya akhirnya tahu dari mana Avin memdapat keramahan dan suka menolong ini.
Keluarga Avin di kampung sangat ramah, seluruh keluarga berdatangan ke rumah
orangtuanya ketika itu, membawa macam-macam makanan dan buah-buahan,. Saya amat
senang karena bisa mendengar cerita mereka, walau kadang diselingi dengan logat
daerah yang tidak saya pahami, tapi di atas semuanya itu mereka ingin menunjukkan
bahwa semua tamu yang datang adalah anak mereka apalagi yang datang itu suster
teman anak mereka, hehehe..
Avin adalah teman ngobrol yang baik ia bisa terbuka untuk menyampaikan unek-unek bahkan ia bisa memberikan kritik yang membangun. Ia seorang yang terbuka serta siap menerima masukan yang baik dan membangun. Tapi Avin tidak pintar merangkai bunga, sehingga ketika dulu pas tugas di kapel, ia tidak pernah merangkai bunga, kalaupun harus menyusun bunga pasti ada bagian yang “venga” kata ini bisa berarti ompong, sebetulnya lebih pas kalau diikuti kata gigi sebelumnya. Jadi kalau ada kembang ompong yang duduk manis di altar itu pasti buatan Avin. Gak tau kalau sekarang mestinya ia sudah pinter ya. Avin juga seorang kawan yang tabah, ia bisa kuat menahan kesulitan atau tantangan yang ia alami dalam hidup, kekuatannya itu kadang menulari kami para sahabatnya, tentu saja dibalik semua itu ia memiliki iman yang teguh sebagai dasar yang kokoh dalam setiap perjuangan hidupnya.
Magda
Magda lahir dan besar di Jambi,
keuskupan Palembang, keluarga mereka (kakak2nya cantik-cantik). Ia sudah
tinggal di Jakarta sejak tamat SMA, demikian juga Papa dan Mama juga sudah
menjadi warga Jakarta. Tentang Magda ini ada cerita lucu, sewaktu kami Postulan
di Ruteng, kami pernah berekreasi di pantai batu cermin di Labuan Bajo. Pantai
ini bersih dan jernih arinya sehingga kami bisa melihat seisi laut dari atas
batu besar yang kami duduki. Waktu itu kaki Magda lagi sakit, jalan agak
pincang, saya lupa yang sebelah kiri atau kanan. Ketika kami lagi berjalan di
dalam air yang jernih, air sebatas betis kami, tiba-tiba ada ular lumayan besar
yang berenang berkelo-kelok ke arah kami, ular ini cantik sekali, warna putih
dan ada biru-birunya, sehingga ketika ditimpa cahaya matahari yang jatuh ke
air, membias dan membuat ular jadi cantik. Karena kaget kami lari loncat
tunggang langgang, nah si Magda ini juga cepat-cepat lari dan dia lupa kalau
kakinya lagi sakit, hehehhe... maka setelah kami semua reda dari kegugupan
karena ular cantik, langsung kami komentari kakinya, ini kaki yang sakit jadi
pindah ke sebelah kanan ya, hehhe.... begitulah kami menimba
kebahagian-kebahagian dari pengalaman kecil bersama para sahabat.
Magda pandai karena ia banyak belajar, ia suka memberi masukan-maukan penting sejauh kami memintanya. Ia juga sangat suka drama dan kreatif. Ia bisa membuat naskah drama dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia juga suka puisi. Sekarang kalau lagi nonton roman picisan yang romantis karena banyak adegan baca puisi, yang saya inget Magda. Magda suka bertanya apa yang tidak pahami dan selalu memakai logika, sehingga ia menjadi tempat bertanya banyak dari kami. Magda juga teman sharing yang baik, ia tidak mudah menyalahkan seseorang walaupun kami tahu dengan pasti kalau orang itu salah, bisa selalu memandang dari sudut yang berbeda dan melihat sisi positif dari seseorang. Tetap sehat ya Magda.
Herlin
Ini gue ni, orang bilang
saya suka spontan dan tak ada kepalsuan padanya. Dari antara kami semua, saya
mungkin orang yang paling tidak bisa masak, tapi suka kalau beres-beres di
dapur. Kalau saya giliran tugas di dapur, maka yang bagian potong-potong sayur
atau daging pasti saya, dan kemudian bersih-bersih perabot. Saya gak pede sih
kalau masak dan itu kebawa sampai sekarang, suka deg-degan, kalau pas masak dan
masakan saya masih ada saldonya, pasti dalam hati udah kepikiran pasti makanan
ini gak enak, keasinan dan lain sebagainya. Walaupun ttidak pandai masak, saya
mau membantu teman yang bertugas di dapur, teman-teman saya juga senang kalau
saya ada di da[ur karena saya bisa disuruh-suruh misalnya ambilin bumbu dapur
di kebun (daun sereh, daun jeruk, kunyit dll) dan anehnya saya mau saja tuh,
naik sepeda keliling kebun untuk cari bumbu yang dimaksud. Teman-teman sering
bilang saya ramah dan terbuka, halus dalam berperilaku, tapi sebetulnya saya
bisa meledak-ledak juga loh kalau sudah esmosi, yang paling kelihatan kalau
lagi esmos adalah mata ini. Mata udah besar ditambah melotot maka bisa membuat
orang sekampung lari tunggang langgang. Teman-teman saya suka mengatakan, marah
sih marah tapi matanya dikecilin dikit dong, hehehhe. Dan biasanya saya juga nurut sama mereka,
mata saya kecilin dan redup-redupkan, ah dasarrr...... jadi mau ketawa sendiri
kalau ingat. Saya suka membuat lagu tapi untuk kalangan sendiri, gak mau
membagi-bagi ke orang lain, saya mengajari ke anak didik iya dan kami bernyanyi bersama. saya suka
bermain musik, nah kalau ini juga untuk
kepentingan pelayanan saya dengan rela hati.
Tentang menyanyi saya bisa mendengar
dengan baik jika ada yang salah dalam membunyikan sebuah nada, dan itu sering
terjadi sehingga ada diantara kami yang mengatakan, bisa gak sih itu telinga
diem saja? Artinya telinga jangan dipakai untuk mendengar yang salah. Ini
kalimat sederhana tapi amat bermakna. Tapi kalau tentang mendengar orang yang lagi nyanyi dan salah, saya suka gatel kalau diem saja. Pengennya segera memperbaiki. Pernah
dalam suatu kesempatan berlatih nyanyi untuk keperluan tugas KOOR Natal di
Jakarta bersama teman-teman probasi, saya memberi contoh bagaimana membaca
nada, eh beberapa diantara mereka mengatakan begini, udah langsung saja nyanyi
pakai kata-kata, kami lebih bisa, dari pda pakai not, astagaa.......hehehe..
teman-temanku yang baik yang juga menyumbang banyak dalam perkembangan hidupku.
Semoga kami semua tetap kompak, setia pada Tuhan, dan saling meneguhkan. Ikut
bahagia jika ada yang bahagia, ikut senang jika lagi gembira, ikut sedih
jika ada yang sedang bersedih. Thanks God!
Komentar