Payung Daun Keladi

Kami berangkat sekolah sekitar pukul 06.30 atau kadang2 malah lebih pagi lagi, rumah yang jauh dari sekolah membuat saya harus bergegas agar tidak terlambat ke sekolah. Pagi-pagi Mama sibuk membangunkan kami, saya dan adik-adik. Kami tahu diantara suaranya yang menggelegar pasti ada sapu atau ember berisi air di tangannya. Kali pertama masih lembut suaranya memanggil manggil, makin lama makin keras jika tak ada tanda2 pergerakan di tempat tidur. 

Adikku pernah dirotan bahkan disiram dengar air sedingin es karena ketika dibangunkan dia malah makin erat memeluk bantalnya dan menarik selimut kembali. Begitulah cerita kami pagi2 selalu ada drama tentang bangun tidur. Setelah lepas dari tempat kami mesti membereskan tugas kami. 

Di dinding rumah kami telah terpasang tugas2 kami selama seminggu. Kakakku yang paling besar ditugaskan oleh Mama untuk mengatur jadwal ini. Ada yang menyapu halaman, ada yang menyiram tanaman dan pohon, ada yang mencuci piring dan ada lagi yang memberi makan ayam di kandang atau hewan lain seperti anak2 bebek dan burung merpati di kandang. Ada juga si babi-bab kecil tapi untuk mereka rasanya tak keburu karena membutuhkan waktu agak lama. Kami melakukan tugas itu harus dengan bergegas tapi hasilnya sempurna. 

Sedangkan kakakku2 yang lain ada yang mengisi bak mandi, memasak sarapan kami, potong kayu untuk persiapan masak didapur nanti siang pas masak. Selesai semua itu kami mandi, kakak2ku rupanya sudah dibagi tanggung jawab untuk mengurus kami maka mereka dengan sigap mengatur kami sesuai dengan tanggung jawabnya. Mandi, makan, sisiran, siapkan buku dan berangkat ke sekolah. 

Kami harus selalu makan pagi karena Mama tak pernah membagikan kami uang jajan. Maka berangkatlah kami ke sekolah dengan tas kami yang kecil dan mungil. Kakakku nomor 3 pernah membawakan kami tas dari Jakarta untuk kami bertiga, tas yang sama baik warna maupun bentuknya. Wah betapa senangnya kami, tas itu kami pamer2kan di sekolah dan terus saja kami pakai setiap harinya. 

Kalau cuaca terang maka kami akan ke sekolah dengan tenang sebaliknya jika musim hujan maka itu menjadi momok bagi kami. Payung di rumah terbatas, untunglah kakak2ku sekolah SMA nya dekat rumah sehingga mereka tidak memerlukan payung. Beda dengan kami, sekolah kami jauh dari rumah. Mama mengakalinya dengan memetik daun keladi yang tumbuh di halaman belakang rumah sebagai pengganti payung. Maka kami masing2 dengan daun keladi yang lebar berjalan menuju ke sekolah. Sepatu kami masukkan ke tas sedangkan sebagai alas kaki kami gunakan sandal swallow. 

Di sepanjang jalan menuju sekolah kami bertemu juga banyak orang yang memakai payung daun keladi, manis kelihatannya, daun yang begitu lebar menaungi orang yang berjalan di bawahnya, kenangan yang sekarang tidak kutemukan lagi. Daun keladi membantu kami utk terhindar dari basah kuyub dan masuk angin. Sampai di sekolah kami menyimpan baik2 daun keladi kami lalu membereskan diri sebentar lalu masuk kelas menyimpan tas kami. 

Indahnya zaman itu, di teras depan atau halaman belakakng sekolah kami penuh dengan payung, entah payung benaran entah daun pisang dan juga bberapa memakai daun keladi. 

Setelah masa itu ibuku lalu membelikan payung secara bertahap sehingga akhirnya kami memiliki payung di rumah. Kenangan payung keladi ini begitu membekas sampai aku dewasa, begitu melihat daun keladi di mana saja maka serentak ingatan akan payung di rumah kami seolah olah nyata di hadapanku. 

Daun keladi sebagai payung ini kupakai lagi ketika menjalani live ini di sebuah desa terpencil kabupaten Ponorogo. Daerah dingin dengan curah hujan yang tinggi membuat saya dan penduduk desa yang lain sering mengalami hujan setiap hari. Ke pasar hujan, ke sungai utk mandi kadang juga diantara rintik hujan. Ke kebun menyiangi tanaman kadang2 dengan hujan deras. Tentu saja kami tdk lupa memakai payung, simbok di rumah tempat live ini hanya mempunyai 1 payung, maka kadang2 aku atau bapak atau mbak Ambar dan Mas Igel harus mengalah, maka daun pisang atau daun keladi menjadi andalan kami. 

Situasi desa yang sunyi dan sepi, ditemani bunyi jengkrik kalau malam atau radio yang tak henti2nya menyiarkan musik wayang membuat saya terbiasa dengan kesunyian. Tidak ada keinginan untuk mencari televisi. Kadang2 Mas Igel dan mbak Ambar mengajakku ayo mbak ndelok TV, kubalas ajakan mereka dengan senyum manis atau sejenak kemudian mengikuti langkah mereka ke rumah tetangga yang ada televisinya.

Payung daun keladi tetap menjadi kenangan indah dalam lubuk hatiku yang terdalam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tours' dan Marie Incarnasi

Gadis KEcil Dari Desa

Mereka Datang Dari Sittard