Sudah 12 Tahun


Sore itu tanggal 11 Pebruari tahun 2008, saya belajar Bahasa Inggris bersama teman-teman. Kami memakai salah satu ruang kelas di sekolahan Angela Bandung di jalan Merdeka. Guru kami waktu itu seorang ibu muda, cantik dan pandai membuat suasana belajar penuh gembira dan senyum. Kami semua tertawa terbahak-bahak jika ada teman kami yang melakukan kesalahan entah dalam berucap atau membuat kalimat. Mestinya tidak boleh tertawa karena akan membuat yang bersangkutan jadi sedih dan tidak percaya diri, tapi entahlah itu yang terjadi dan kami semua bergembira tanpa terkecuali, yang membuat kekeliruan juga tidak merasa apa-apa bahkan ia yang paling keras tertawa. Metode belajar kami adalah membuat kalimat atau bercerita dan langsung presentasi di depan kelas dan hasilnya seenak dhewe, jawaban yang kocak akhirnya sukses membuat kami bergembira.

Sejak sore itu handphone saya mati karena low bath, dan untuk seterusnya saya lupa cash karena sepulang belajar saya siap diri masuk kapel berdoa bersama para suster dan makan bersama. Balik lagi ke kamar baru ingat dan langsung cash. Saya tinggalkan kamar karena ada urusan di kapel untuk persiapan misa esok pagi. Balik lagi ke kamar tanpa aba-aba saya langsung tidur, hanya sempat berdoa singkat dan segera beranjak ke dunia mimpi.

Pukul 0.30 sayup saya mendengar kamarku digedor oleh Sr Paula, kawan sekomunitas yang kamarnya persis samping kamar saya. Saya kaget bangun tanpa menyalakan lampu langsung pintu kamar saya buka, kebetulan hendle pintu persis di dekat tempat tidur bagian kepala sehingga tanpa kesulitan saya bangun dan buka pintu dengan tangan kiri dan tangan kanan memegang selimut, karena masih mengantuk serasa melayang dan pangling. Seraut wajah muncul di pintu kamar dan tergopoh-gopoh minta maaf dan berkata, tabahkan hatimu, ada kabar duka, belum selesai ia bicara saya langsung menyambar, “mama’? Sontak kantukku hilang, segera saya ambil HP di meja dan membukanya, serentak sejumlah sms masuk dan langsung ada panggilan telepon dan mengatakan dengan singkat, “ mama baru saja pergi ke surga, siap-siap diri untuk pulang”

Rupanya karena HP saya off, maka seorang kakakku berinisiatif menelpon Sr Paula, kebetulan kemarin sore saya meminjam HP beliau untuk menelpon kakakku yang ini dan ketika saya susah dihubungi, ia teringat kalau kemarin saya sempat menghubunginya dengan memakai nomor baru. Padahal kemarin saya masih berbicara dengan Mama, masih menanyakan tentang keadaannya, dan ia menjawab beberapa kata bahwa ia sudah mulai membaik, mau makan walau sedikit. Maka ketika mendapat kabar mengejutkan ini saya berpikir, mengapa kemarin ia mengatakan kalau ia sudah agak membaik? Rupanya mama hanya memberi saya harapan palsu, ia tidak ingin anaknya yang tinggal paling jauh darinya ini kepikiran dan bersedih hati.

Maka di tengah malam menjelang pergantian hari, saya bergegas menyiapkan diri, beberapa suster membantu saya mencari tiket pesawat, pesan travel ke bandara, membantu menyiapkan koper dll. Saya melakukan itu semua tanpa suara dan air mata, yang ada dalam pikiran saya, saya harus secepatnya sampai di rumah, saya ingin bertemu Mama, maka begitu siap, dengan minum segelas teh hangat dan sepotong roti, saya diantar taksi ke travel dan selanjutnya ke bandara. Sr Irene pemimpin komunitas menghantar saya sampai bandara dan di sepanjang perjalanan, ada beberapa teman yang telpon memberikan perhatian dan rasa ikut berduka, saya sendiri tidak tahu dari mana mereka tahu tentang kabar duka ini secara saya juga belum bicara kepada siapa-siapa.

Sampai di bandara Halim Perdanakusuma hari masih gelap, pesawat saya akan take off jam 06.00, saya tiba kurang 10 menit jam 6, dengan lari-lari kecil saya menerobos hujan dan udara dingin pagi itu, lapor sejenak untuk mendapat boarding dan lari sekencang-kencangnya sambil menggeret koper kecil saya menuju pesawat. Di beberapa tempat landasan pesawat banyak air tergenang dan saya berusaha menghindari air itu agar tidak jatuh. Angin kecang dan hujan saya tidak pedulikan, maklum cuaca di bulan Pebruasi tidak dapat diprediksi. Masih sempat saya memberi berkat di pintu pesawat ( Kebiasaan saya kalau mau naik pesawat mesti memberkati pesawat di bagian pintu, hehehe) Pesawat sudah berbunyi ketika saya masuk dan mencari tempat duduk. Pramugari juga sudah bersiap-siap untuk menerangkan tatacara keselamatan penerbangan komersial kepada para penumpang. Begitu sampai di tempat duduk, terdengar pilot bersuara minta ijin terbang, para pramugari juga bersiap-siap memeriksa kesiapan penumpang, saya segera  pasang sabuk pengaman dan menarik napas panjang, lalu pesawat pun take off dengan mulus. Saya menyempatkan diri berdoa mohon perlindungan Tuhan, dan setelahnya baru saya ingat untuk menyapa teman duduk di samping saya. Sederetan saya itu ada tiga kursi dan dua kursi yang lain diduduki oleh sepasang suami istri paruh baya, saya tersenyum sejenak pada pada mereka, menyapa satu dua kata. Mereka berasal dari Toraja dan hendak ke Bali.

Setelah duduk dengan tenang dan pesawat sudah terbang dengan sempurna, barulah saya merasakan kesedihan yang luar biasa, apalagi ditambah cuaca yang tidak bersahabat, sesekali pesawat bergoncang dengan keras. Awak pesawat bolak balik mengingatkan kami para penumpang untuk tidak berdiri atau melepaskan sabuk pengaman karena pesawat terbang dalam kondisi cuaca buruk. Saat itu baru terasa saya sedih dan ingat Mama, air mata saya tak berhenti mengalir dan berulang kali saya terisak tanpa suara dan melap air mata. Bapak dan ibu yang duduk di samping saya memegang tangan saya sambil berucap.” Jangan takut mbak, memang begini kalau cuaca bulan Pebruari, sangat tidak bersahabat. Oh ternyata mereka menyangka saya menangis karena takut pesawat jatuh, maka dengan segera saya menjelaskan kalau saya sedang dalam perjalanan pulang kampung karena Mama baru saja dipanggil Tuhan. Mendengar itu mereka terdiam dan sang ibu menggenggam tangan saya. Kami turun di Bali dan berpisah. Terima kasih bapak dan ibu yang telah memberi saya peneguhan sepanjang perjalanan Bandung – Denpasar.

Hari sudah  malam ketika saya tiba di Larantuka, seorang kawan menjemput saya dan membawa saya untuk menginap di biara mereka. Saya tidak ke rumah keluarga karena mereka semua sudah bergegas menyeberang dan rumah dalam keadaan kosong, saya segan untuk tinggal di rumah mereka sendirian. Sebetulnya ada kapal kecil yang akan menyeberang malam itu ke Adonara tapi karena ombak besar dan sudah malam maka saya menutuskan untuk menginap saja, apalagi pesan dari muder tadi pagi agar saya tidak boleh langsung menyeberang, menginap saja dulu. Maka ketika pagi datang, saya diantar seorang frater berjalan kaki menuju pelabuhan, amat dekat tinggal menyeberang jalan, lalu ketika saya sudah berada di dalam motor laut, frater meninggalkan saya. Dalam kapal banyak sekali penumpang, saya mendapat tempat duduk di barisan tengah, kebetulan saya juga ketemu beberapa keluarga dari Mama yang juga ingin melayat, maka kami duduk bersama. Saya tersenyum kepada beberapa orang yang saya kenal, lalu tiba-tiba kesunyian datang menerpa, saya sungguh heran karena saya berada di antara banyak orang tetapi kenapa begitu sepi, lalu tiba-tiba air mata mengalir dengan sendirinya sampai seorang ibu yang masih kerabat mama mengatakan, mari kita berdoa agar kesedihanmu bisa teratasi. Beberapa orang menoleh melihat saya dan si ibu sambil berbisik ia mengatakan, suster bersedih Karena Mama meninggal. Tiba=tba seorang awak kapal datang mendekati saya dan berkata dengan suara keras” jangan takut suster, beginilah cuaca di bulan dua, ombak besar, hujan dan dan kilat. Memang pada waktu itu cuaca sangat tidak bersahabat. Sekali lagi di dua tempat yang berbeda saya di sangka takut kecelakaan karena cuaca buruk, hehehhe….

Saya tiba di pelabuhan Waiwerang dan dijemput oleh beberapa kakak saya dan begitu tiba di pintu masuk, saya melihat Mama tidur dalam peti. Ia berpakaian putih dan sudah ditutup oleh kain sarung. Wajahnya tenang dengan tangan yang terlipat rapi di dada. Saya tidak berkata apa-apa, menangis pun tidak, tapi seluruh keluarga yang hadir di situ yang menerima saya, menangis dengan kencang bahkan hampir histeris. Saya adalah anak mama yang terakhir tiba di rumah dan mereka menunggu saya untuk upacara penguburan pkl 15.00. Hampir semua yang menangis mengatakan, mama.. ini semua anakmu sudah lengkap. Pandanglah kami semua ini, kami datang untuk bertemu denganmu tapi mengapat mama tidur saja dan beberapa ungkapan kesedihan lainnya. Saya melihat ayah saya duduk di peti bagian kepala sambil ditemani oleh seorang kakak saya. Saya memeluk ayah dan semua yang hadir dengan kesedihan yang tak bisa saya gambarkan.

Ada macam rasa yang muncul ketika melihat Mama berbaring dengan damai dalam peti, perempuan yang seluruh hidupnya ia habiskan untuk mengabdi dan melayani keluarga, yang tidak pernah mengeluh capeh atau kekurangan sana sani, semuanya ia pendam dalam hati karena menurut dia kebahagiaan keluarga di atas segala-galanya, anak-anaknya tidak perlu tahu kesusahan yang ia alami. Maka begitu banyak ucapan syukur kepada Tuhan atas pemberian dan hadiah yang besar bagi kami, kami punya Mama yang baik, pendoa,  rajin kerja, mengurus rumah tangga dengan cekatan, mendidik semua anaknya sehingga semua anak mampu menjadi manusia yang berkualitas dan menghidupi dirinya sendiri.

Mama dimakamkan pada pukul 15.00 dengan sebuah upacara sabda dan dalam rinai hujan. Banyak orang yang hadir, keluarga, tetangga sekitar, teman-teman bapak dan teman-teman kami anak2nya. Mama telah berbaring dengan damai di pangkuan Tuhan, telah menjadi pendoa untuk kami semua anak dan keluarga. Ia sudah menjadi warga kerajaan surga, maka dengan tulus kami mohon semoga Mama bisa menjadi juru bicara kami di hadapan Tuhan ketika kami anak-anak mengalami tantangan dan krisis dalam hidup. 12 tahun Mama di surga. RIP





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tours' dan Marie Incarnasi

Gadis KEcil Dari Desa

Mereka Datang Dari Sittard