God Only Knows


Namanya Yati, entah siapa nama panjangnya. Saya mengenal dia sebagai seorang anak SD kelas 5 atau 6 waktu itu. Yati adalah anak dari sepasang orangtua sederhana yang hidup di sebuh kota kecil Larantuka. Ia mempunyai seorang kakak laki laki yang saat itu usianya tak terlalu jauh dengannya. Karena  rumah orangtuanya  besar dan memiliki banyak kamar maka ibunya berinisiatif untuk membuka kos-kosan. Kamar kamar kos ini khusus menerima gadis-gadais muda karyawan kantor pemerintahan atau guru baru yang mulai mengajar di sekolah di sekitar rumah mereka.

Kakakku tinggal bersama mereka dengan menyewa salah satu kamar di rumah itu. Kebetulan kakakku diterima bekerja di salah kantor pemerintah dekat rumah mereka. Maka jadilah kakak perempuanku bagian dari keluarga Yati. Setiap kami mengunjungi sang kakak, maka hampir pasti kami ikut menginap di rumah itu, tentu saja kamar yang kami pakai adalah kamar kakakku. Ibu sang tuan rumah sangat baik, suka menyapa dan memperlakukan orang yang datang ke rumahnya sebagai keluarga.

Pada suatu hari ketika ada urusan di ibu kota kabupaten, maka saya datang dari pulau Adonara dan menyeberang ke kota kabupaten. Saya berkempatan ke sana dan mampir di rumah itu, selain karena mau mengurus surat-surat penting berkaitan dengan ssyarat-syarat kuliah, saya juga membawa beberapa titipan mama untuk kakak saya itu. Saya tiba di rumah saat hari sudah siang dan kakakku belum pulang dari kantor maka sama si ibu saya diminta menunggu. Karena merasa sudah dekat dengan keluarga ini maka saya ikut membantu beliau di dapur untuk potong-potong sayur dan menggorang lauk. Anak-anaknya juga belum pulang sekolah saat itu.

Tak berapa lama kemudian Yati dan kakaknya pulang dari sekolah lalu kami makan bersama di meja. Saat itu Yati bercerita tentang pengaaman di sekolah hari itu, Sesekali ibunya menimpali dengan mengingatkan dia tentang tugasnya nanti sore setelah bangun tidur yakni harus menyiram tanaman dan pohon di halaman. Memang rumah mereka walau tak luas halamannya tapi penuh dengan tanaman bunga dan pohon buah. Saat di meja itu saya menawarkan diri untuk ikut membantu.

Siang menjelang sore itu kami berdua bergotong royong menyiram halaman dan pohon. Air kami timba dari sumur yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumah dan masih menggunakan timba tradisional, yakni kerekan pakai tali yang kuat dengan ember di kedua ujungnya supaya bisa bergantian ketika timba air. Saat tertentu saya yang timba dan saat lain Yati yang mengerek timba dari bawah sumur. Tangan kami berdua sampai merah karena terus menerus mengerek timba dan bawa ember yang penuh air ke halaman rumah.

Saya masih ingat dengan baik saat itu, Yati memakai baju terusan warna biru dan sedikit renda di bagian leher. Karena kami berdua bolak balik membawa air maka badan kami plus baju bagian lutut dan sedikit ke atas menjadi basah. Sebetulnya kami sudah agak lelah tapi karena banyak pohon yang belum mendapat air maka kami berjuang untuk menuntaskan kerja kami.

Saat giliran saya timba air di sumur, Yati dengan ember yang lebih kecil angkut bolak balik. Lama baru saya menyadari kok Yati belum balik balik ke sumur ya, maka dengan sigap saya membawa seember air penuh dan berjalan cepat menuju rumah. Dari kejauhan saya melihat ada bayangan yang sedang tidur di halaman rumah dekat dengan tiang listrik. Bayangan itu memakai pakaian biru seperti yang dipakai Yati. Dalam hati saya bicara sendiri apakah Yati yang tidur di halaman itu? Ngapain dia tidur di saat kami lagi bekerja ya. Maka ketika bisa melihat dengan jelas dan menyadari bahwa itu Yati yang berbaring di halaman maka sontak saya berteriak dengan keras, “ Yatiiii kenapa tidur di situ? Kamu jatuh ya. Saya teriaknya tidak sekali tapi berkali kali sambil berlari mendekat. Saya berniat untuk membangunkan dia.

Teriakan saya didengar oleh kakak saya dari dalam kamar dan serentak kakak saya melongok dari jendela sambil memegang sapu lidi abis membersihkan tempat tidur. Kakak saya berkata dengan suara kencang, jangan dipegang, Yati suka begitu, dia punya sakit bawaan, biar saja nanti dia bangun sendiri. Mendengar itu saya menarik kembali tangan saya yang sejatinya sudah hampir memegang kakinya.

Karena Yati tidak bergerak sama sekali walaupun saya sudah memanggilnya berkali kali, maka atas usul kakak saya yang masih berdiri di jendela untuk segera memanggil sang ibu yang sedang arisan di rumah tetangga. Maka sambil berlari kencang saya menuju rumah tetangga dan mengabarkan kalau Yati jatuh di halaman. Setelah mengabarkan kepada orangtuanya, saya kembali ke sumur lewat jalan belakang, saya tidak lagi balik untuk melihat Yati karena saya pikir mamanya sudah ada dan lebih tahu cara menolong Yati.

Sampai di sumur saya menyelesaikan pekerjaan saya dan bermaksud kembali ke rumah dengan membawa air dalam ember yang tinggal satu itu. Dari kejauhan saya sudah melihat banyak orang berkerumun di tempat di mana Yati jatuh dan saya masih berpikir mereka pasti akan menolong Yati. Makin dekat tempat kejadian, darahku tersirap dan jantung saya mau berhenti rasanya karena saya melihat kok banyak bapak-bapak memegang kayu besar semacam balok yang dipakai untuk menggeser tubuh Yati. Saat itu saya langsung paham bahwa ini bukan perkara Yati jatuh semata mata, tapi Yati terkena setrum listrik tingkat tinggi. Saya melihat dengan jelas bagian betis sampai ke paha hangus terbakar. Saat itu saya sadar Yati tersengat listrik. Memang tiang listirk itu besar sekali menyangga aliran listrik di sepanjang jalan utama (rumah mereka di pinggir persis jalan besar). Tiang listrik penyanggah ini ditanam miring dan persis di halaman rumah mereka.

Penyadaran itu membuat saya hampir pingsan selain karena saya amat sedih bahwa betapa maut itu begitu tipisnya, bahwa kami baru saja ngobrol, kerja bareng, ketawa ketiwi kok sekarang dia sudah meninggal? Oh Tuhan.... Saat bersamaan saya melihat ayah dan ibu Yati menangis tak henti menggapai-gapai anaknya tanpa bisa memegang karena tidak diperbolehkan. Saat bersamaan saya bertemu mata dengan kakak saya yang juga sudah berada di tempat kejadian perkara. Saya melihat kakak saya berurai air mata entah karena sedih atau karena terharu adiknya masih dilindungi Tuhan.

Peristiwa itu amat membekas dalam batin saya padahal sudah lebih dari 25 tahun yang lalu, tepatnya 29 tahun. Saat kejadian itu saya menyadari bahwa saya diselamatkan oleh teriakan kakak saya dari jendela. Entah apa yang terjadi ketika ia tidak berteriak. Teriakan ini ia lakukan karena  mendengar suara saya ketika memanggil manggil Yati.

Yati yang malang, dalam usia begitu muda ia telah menghadap sang Pencipta terlepas dari alasan apapun. Karena saya mendengar cerita selanjutnya, sebetulnya Yati sudah mengingatkan ayahnya tentang tiang listrik depan rumah yang rusak supaya segera memberitahukan kepada PLN. Rupanya sejak hari kemarin listrik telah padam karena ada beberaapa kerusakan di beberapa titik kota termasuk di tiang listrik depan rumah. Entah mengapa ayahnya lupa memberitahukan kepada PLN atau mungkin saja petugas belum ada kesempatan datang memperbaikinya dan lain sebagainy.

Terlepas dari semua itu Yati sudah berada di surga secara tiba-tiba terlebih untuk saya yang baru saja bercakap-cakap dengannya juga bagi orangtuanya yang pasti amat terkejut, dan bisa meninggalkan penyesalan yang amat dalam bagi kedua orangtuanya.

Ketika keluarga besar sudah berdatangan, saya segera menyingkir dan memberi kesempatan kepada mereka untuk mendampingi Yati. Sambil menangis berurai air mati, saya mendengar beberapa tantenya mengungkapkan penyesalan mereka karena tidak mendampingi anaknya di saat terakhir. Saya sendiri tak kurang rasa sedih dan menangis. Malam itu saya terpaksa menyingkir dan tidur di rumah saudara yang lain selain karena rumah menjadi penuh juga masih tak percaya akan kejadian tragis itu.

Kalau Yati masih hidup tentu sekarang ia sudah dewasa, sudah berhasil dalam hidup, sudah bahagia dalam keluarga bersama suami dan anak-anaknya dan tentu saja telah memberi kebahagiaan kepada orangtuanya. Berbahagialah disurga Yati, mengenangmu tidak cukup hanya mengingatmu saja tetapi dengan berdoa tak kenal henti. Doakanlah kami yang masih berjuang di dunia ini.

Untuk saya pribadi, peristiwa ini memberi keyakinan kepada saya bahwa Tuhan masih membutuhkan saya untuk sebuat tugas yang lebih mulia. Jika saya mati saat itu maka saya tentu tidak bisa bercerita tentang peristiwa itu sekarang. Jika saya mendadak ikut pergi ke surga bersama Yati, tentu saya tidak memiliki kenangan hidup dalam biara yang indah ini. Semua itu terjadi karena saya belum saatnya menghadap Dia. Dia masih memerlukan saya maka kesempatan yang IA berikan ini mesti saya gunakan dengan baik untuk melayani Dia dan sesama. Melayani Tuhan dan sesama itu sebuah perbuatan yang serentak harus dilaksanakan, bukan  melaksanakan dan yang satu dan membuang yang lain. Ini adalah makna iman yang bisa saya ambil dari peristiwa yang mengharukan itu. 

Semoga pengalaman ini semakin memberi keyakinan bahwa hidup mati kita berada di tangan Tuhan, bahwa semua orang pasti akan mati, hanya bagaimana caranya dan kapan saat itu tak seorangpun tahu, God only knows.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tours' dan Marie Incarnasi

Gadis KEcil Dari Desa

Mereka Datang Dari Sittard