Opa dan Oma


Pertama kali kami berkenalan ketika beliau berdua, Opa dan Oma Rofinus datang ke Ende untuk suatu urusan dengan Universitas setempat. Sebagai dosen yang sangat berpengalaman di Binus University, Opa suka ke mana-mana untuk berbagi ilmu dan keahliannya dan opa suka mengajak istirnya yang kami panggil dengan Oma. Oma ini wanita keturunan yang cantik, badannya mungil dan kalau berbicara penuh semangat dan agak ceplos. Saat itu beliau berdua (oma dan Opa) meminta kepada panitia untuk disiapkan sebuah tempat tempat menginap yang nyaman, dan kebetulan panitia kenal dengan salah satu Suster di Santa Ursula Ende, maka panitia meminta dengan sopan apakah boleh Sang Opa jenius dan Oma menginap di biara, mengingat faktor usia jika mereka harus tinggal di hotel di kota kecil kami ini.

Mereka berdua datang malam-malam dengan penampilan yang biasa saja untuk Opa yakni mengenakan jaket dan celana bahan dan sepatu kulit sederhana. Tampang opa yang rada-rada lucu dan tidak kayak seorang akademisi membuat banyak pertanyaan dalam batin saya, ini benar dosen yang hebat dan berpengalaman? Rasanya sih kurang percaya (Hahahha...maap ya opa kribo di surga) Penampilan istri Opa lebih keren dan modis. Beliau memakai baju panjang dan kain kayak ibu-ibu modern sekarang, rambut disanggul rapi dengan warna perak yang sudah hampir nampak keseluruhan. Sebuah tas tangan kecil dipegang di sebelah kanan, sepatu sandal pakai hak agak tinggi dan wajah rapi cantik dengan make up lengkap. Cantik sekali dan sederhana. 

Mereka kami sambut dengan ramah dan jabat tangan erat. Sekilas pandang saya menangkap kalau Opa kelihatan ramah sekali sedangkan oma sebaliknya, wajah sedikit diangkat tapi tanpa meninggalkan senyumnya dan sedikit galak menurut saya, ternyata teman-teman saya yang lain juga menangkap kesan yang sama. Mereka datang tepat ketika kami baru mulai makan malam sehingga sekalian kami makan bersama. 

Sang Oma nampak berhati-hati ketika berbicara dan sopan banget waktu makan, sedangkan opa sebaliknya, ia mulai berbicara dan suasana langsung cair seketika. Opa berbicara macam-macam, mulai dari zaman dia muda dan terlibat dalam berbagai partai politik, sampai dengan situasi keluarga di Tenda Ruteng, tentang sekolah dan biaya sekolah yang berasala dari berbagai bantuan pihak lain, kadang diselingi dengan cerita lucu dan konyol yang opa lakukan semasa muda dan sebagainya. 

Cerita opa kami tanggapi dengan tertawa terbahak-bahak bahkan tak jarang beberapa diantara kami menambah-nambah bumbu. Sedangkan Oma? Ah beliau tersenyum dengan manis dan sesekali menjawab apabila ditanya oleh opa atau opa seringkali meminta ketegasan dari oma tentang kebenaran ceritanya. Semakin lama Oma semakin mau terlibat dan bahkan beliau yang mengingatkan opa untuk bercerita. Jadi Oma ini sekarang sudah bertindak sebagai tukang pengingat kisah dan Opa jadi pencerita yang handal. Beberapa kali Oma mengingatkan Opa, itu loh Pak cerita tentang si anu, tentang kampung ini dan itu. Lama-lama saya pikir keren juga pasangan ini. Itu kedatangan mereka yang pertama kali. 

Selanjutnya saya mencatat, pasangan tua ini beberapa kali datang ke Ende, selain untuk urusan pekerjaan juga ada kesempatan untuk rekreasi karena mereka baru saja saja pulkam di kampung Opa di Manggarai dan melanjutkan perjalanan ke Ende. Kali itu mereka tinggal di hotel. Malam-malam mereka datang ke biara dengan mobil sewaan, dan kami kaget bukan kepalang, ini gak ada berita kok ujug-ujug bisa muncul di Ende? Hehehe... mereka datang dengan membawa makanan yang banyak, kata si oma, para suster biar makan banyak.. olalala.. rupanya Oma melihat kami kayak kurang makan sehingga kami dibawain makanan banyak. Ah dengan senang hati kami habiskan semua makanan dan seperti biasa Oma selalu mengatakan, Suster tambah lagi ya, Oma pesan lagi dan seterusnya. Kedatangna mereka yang kedua ini membawa mereka untuk jalan-jalan ke Kelimutu dan menikmati pantai di sekitar Ende. Saya dan Vero pernah menghantar mereka ke pantai Nangaba, kami berfoto sepuas hati dan mereka juga membuat pose mesra, ahh udah tua masih aja foto mesra. Eh tiba-tiba si Opa kok rada lari ke balik batu, ternyata beliau kebelet pipis, hahahhah ... kami tertawa terbahak-bahak soalnya sambil berdiri di balik batu si Opa bilang tidak baik menahan pipis apalgi sudah usia lanjut, bayangkan sambil berteriak di balik batu. Foto-foto kami kemudian hari diedit oleh anak opa dan oma lalu dimasukkan dalam album dan ketika mereka datang ke Ende lagi, album itu mereka bawa serta.

Pertemuan kami selanjutnya terjadi di Jakarta, kebetulan oma dan opa ini bertempat tinggal di Jakarta tepatnya di jalan Bluntas Salemba tepat di belakang rumah sakit Carolus. Kami suka janjian ketemu kalau saya bertugas mengirim komuni untuk para pasien di rumah sakit tersebut. Sang Oma suka menunggu saya di kapel Carolus sambil berdoa atau membaca-baca (kata beliau sih) tapi saya tidak pernah melihat ia memegang sebuah buku satupun). Setelah selesai jam dinas kami akan bertemu dan ngobrol sebentar lalu kami akan naik bajaj menuju tempat rujak di Megaria. Beliau selalu tahu makanan kesukaan saya dan mengerti dengan jelas, di mana makanan itu ada. Salah satu kebiasaan oma yang jelek adalah beliau akan memesan sekian banyak makanan dan minuman kayak yang mau makan 5 atau 6 orang. Setiap kali ditanya beliau selalu menjawab, kan oma makannya banyak jadinya pesennya banyak. Ternyata yang terjadi adalah begitu makanan datang, beliau hanya icip-icip saja, bahkan pernah terjadi, beliau hanya makan bumbunya saja, lha piye ki? Tidak mungkin kan membuang makanan? Maka dengan sangat terpaksa kami yang ada bersamanya harus menghabiskannya. Sekali dua kali saya masih diam tetapi ketika sesudah beberapa kali terjadi, kami mulai gak terima, begitu kalau oma sudah mulai pesen makan atau minum, kami akan bertindak dengan keras, pesan makanan hanya satu tidak boleh lebih. Beliau mengalah tetapi kemudia ijin pergi sebentar ke toilet, eh yang katanya ke toilet ternyata pergi ke kasir untuk menambah makanan, kecolongan lagi, kata Oma, udah kalau gak makan di sini ya bawa balik ke rumah dan makan di rumah, katanya dengan enteng, astaga... Begitu kejadian beberapa kali maka kami kemudian pernah gak mau bertemu beliau untuk beberapa saat. Perjumpaan kamipun selalu diwarnai cerita-cerita lucu entah itu tentang opa, atau ketika kami punya perbendaharaan cerita lucu yang banyak maka kami akan mencceritakan ke beliau. Teman saya namanya Vero  pandai sekali bercerita sambil menirukan suara, mimik wajah dan gerak badan orang ia ceritakan, maka sekian sering Vero menjadi penyegar suasana dikala kami bertemu oma dan opa. Vero dan Opa ini punya kesamaan yakni mereka mampu bercerita dan membuat pendengarnya menaruh perhatian yang penuh pada cerita mereka, dan akan terbawa terbahak-bahak jika itu sebuah cerita lucu, hehhe.

Kalau cerita tentang opa secara khusus kurang banyak, beliau mesti disandingkan sama oma, ya iya bener, mereka kan suani istri, apa-apa harus dalam frame berdua. Pada suatu hari oma menelpon saya berkata “ Suster minta doa untuk opa, kenapa dengan opa, Oma? “Opa sudah pergi”! “Pergi kemana Oma? Tanya saya lagi, jawab oma, opa sudah gak ada! Astaga, saya bingung dan terdiam, apa maksud oma ya, karena saya terdiam oma langsung mematikan telpeon. Saya langsung telepon balik, ini oma maksudnya apa? Opa serangan jantung dan sekarang sudah di kamar jenazah, astaga, saya kaget sejadi-jadinya. Oma  memberikan hal penting itu seperti ketika ia bertanya pada saya, sudah makan? Atau hati-hati dijalan kalau pulang ya dan lain sebagainya. Sangat biasa dan memang seperti itu tipe oma, apa yang ia katanya biasa seakan-akan tidak ada rasa sama sekali. 

Sangat sedih sekali hati saya ketika mendengar berita itu. Opa yang baik dan penuh perhatian, opa yang lucu dan tidak peduli apakah pembicaraannya di dengar orang atau tidak ia tetap ngomong, opa yang tidak menyadari kalau cerita yang ia sampaikan kepada kami sudah beberapa kali diulang, dan istrinya nanti yang akan mengingatkan, itu sudah Pa, ceritanya, cerita yang lain saja, yang tentang itu loh, dst. Opa yang tiap kali kami jumpa tidak pernah lupa melontarkan kata-kata,” makanan yang paling sehat adalah bersyukur (apa karena dia melihat saya dan Vero lemes dan kurang bersyukur kali ya), atau opa yang tidak segan pulang sendiri ke rumahnya dengan berjalan kaki kalau dia melihat saya. Vero dan Oma terus aja cekikikan karena cerita lucu. Beliau si opa  ini suka berkaki karena rumahnya dekat, wong kami kalau ketemuan suka di sate senayan Salemba dan banyak hal lain lagi kenangan tentang beliau. Oma dan opa ini tipe orangtua modern yang bisa menjawab apa saja perkataan kami yang up to date. Mereka suka menjawab seenaknya sama seperti kami kalau menjawab mereka dan kami menerima dengan biasa saja , artinya ketika kami berbicara bukan karena kami tidak menghormati mereka tetapi karena frekuensi kami nyambung atau dengan kata lain kami menggunakan gelombang yang sama sehingga selalu nyambung, gelombang itu namanya kasih. Kadangkala ketika lagi berjalan di trotoar, oma atau opa tiba-tiba menghilang, saya dan Vero saat pertama bingung tetapi setelah beberapa kali kami jalan kami seolah tidak memperdulikan lagi karena oma atau opa ini pasti berdiri di balik pohon sambil cekikikan berdua melihat kami bingung, hehehhe....

Nah si oma ini walau badannya mungil tapi punya semangat baja, beliau suka bercerita tentang kerusuhan 98 yang melanda Jakarta, dengan tidak peduli pada banyak orang ia pergi mencari putrinya yang belum pulang waktu kerusuhan itu, bahkan sempat panjat tembok di rumah duka rumah sakit, jangan sampai putrinya sudah menjadi salah satu penghuni ruang duka, atau lain lagi ketika ia mengirim foto bersama Pak Ahok gubernur Jakarta, Ketika begitu banyaknya penjagaan ketat kepada Ahok, ia dengan mudah berteriak memanggil Ahok dan ketika Ahok menoleh dengan santai ia memotret Pak Ahok. Keren bukan? 

Atau ketika ia memamerkan foto dirinya bersama Ahok dan sebagainya. Nah si oma ini beberapa kali menghantar saya pulang ke biara naik bajaj, saya memang agak takut kalau naik kendaraan ini sendirian bahkan naik taksi pun saya suka takut. Oma suka menghantar saya pulang, walau sebenarnya saya malu diantar orangtua, Biasanya setelah menurunkan saya di biara, oma langsung dengan bajaj atau taksi yang sama pulang ke Salemba. Setelah menunggu beberapa waktu atau saya mengira-ngira beliau sudah nyampe rumah saya akan telp ngecek. Kadangkala beliau tidak menjawab telp saya atau WA dan itu membuat saya cemas, sampai harus telpon rumah segala. Nanti sesudahnya ia akan berkata, oma masih dibawa dulu ke Bogor sama tukang bajajnya, jadi maaf kalau telponnya gak oma angkat, ahh... nah kebayang kan bagaimana kocaknya si Oma.

Samapi sekarang saya dan Vero belum pernah menengok Opa di tempat peristirahatnya yang terakhir, kami masih belum punya waktu yang pas, juga karena tempat tugas kami yang berbeda membuat susah sekali untuk ketemu Oma. Saya dan Vero sudah berniat untuk mengomeli opa kalau ziarah nanti ke San Diego di Karawang, kenapa Opa pergi begitu saja dan enak saja tanpa memberi pesan apapun pada kami, hehehhe... Bahagia di surga ya Opa, dan untuk Oma, jangan cepat-cepat nyusul opa ya. Sehat selalu untuk Oma, miss you Oma cantik.


Mereka memang  mesra anytime

Oma dan dua anaknya yang kenclung

Baju merah

Merah lagi kan, punya selusin kali ya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tours' dan Marie Incarnasi

Gadis KEcil Dari Desa

Mereka Datang Dari Sittard