WAEREBO : Serpihan Surga Di Bumi Manggarai

Dengan mobil jeep, kami menerjang bukit gololusang lalu turun menyusuri pantai yang luas membentang di kecamatan Satarmese. Sopir kami namanya Om Eman. Beliau sudah malang melintang dalam dunia persopiran, beliau juga sopir para romo bahkan sopir bapa uskup di keuskupan yang sangat sering mengantar bapa uskup tourne ke daerah, so bersama Om Eman kami merasa aman menuju ke Waerebo. 

Kami sampai di desa terakhir sebelum ke Waerebo, Denge. Sebelum sampai desa ini sepanjang perjalanan kami melhat banyak penginapan-penginapan kecil milik penduduk setempat. 
Sesaat setelah Waerebo mendunia, perlahan-lahan masyarakat desa sekitar mengubah mata pencaharian mereka. Dari yang semula petani atau nelayan menjadi pemilik home stay 

Kami menuju sebuat penginapan kecil dan disambut oleh sejumlah anak-anak dari dalam rumah. Mereka berjumlah 5 orang dengan usia paling tua kira-kira 10 tahun. Mereka menyapa kami dengan ramah, “ Mari masuk mama Suster”, mau minum kopi?” Begitu sapaan mereka. 

Serentak saya terkesan dengan cara 5 anak ini menyambut kami. Mereka dengan sigap memberi buku tamu kepada kami yang ketika lihat sudah tercantum harga sewa kamar permalam, dua diantara mereka, anak laki-laki kecil berusaha membawa tas kami menuju ke kamar. Kami berdua ( saya dan seorang teman) menolak dibawakan tas karena rasanya pria kecil ini tak tak sanggup membawa tas kami. Tas kami walau kecil isinya bermacam-macam sehingga lumayan berat 

Anak-anak itu bercerita bahwa sudah banyak orang yang menginap di rumah mereka, dan persis sama ketika kami membaca nama-nama di buku tamu. Lalu kami bertanya ke mana orangtua mereka, jawab salah satunya, orangtuanya sedang pergi ke kota (Ruteng) 
Baiklah, meski ragu dengan kemampuan mereka mengurus kami, kami tetap memilih kamar dan beristirahat sejenak. Dari jendela saya memperhatikan kesibukan anak-anak itu. Kebetulan jendela kamar saya berhadapan dengan dapur yang letakknya agak tinggi. 
Saya melihat mereka, ada yang mulai memasang air selang dan mengalirkan ke bak mandi, ada yang tampi beras dan ada yang mulai memetik sayuran yang ada di halaman samping dapur. Sayurnya adalah daun pucuk labu plus buah labu jipang. 
Saya keluar kamar dan menuju dapur, niat saya ingin bergabung bersama mereka sambil sedikit mencari informasi tentang Waerebo yang terkenal itu. Sebelum sampai dapur saya bertemu dengan pria kecil yang tengah mengulur selang menuju dapur. Saya bertanya, ini sumbernya dari mana Dek? Dia mengangkat wajahnya dan dengan senyum tulus menjawab, “ air dari gunung langsung, bapak kami memasang bambu besar dari gunung dan di situ tempat air mengalir dan begitu sampai rumah kami pasang selang, dia menjawab dengan bahasa Indoensia dan bahasa daerah campuran. 
Saya paham dan sambil mengucapkan terima kasih saya ke dapur. Sang kakak menyambut saya dan dengan ramah mengatakan, “ Mama Suster tidak usah ke sini karena dapur kami kotor, habis hujan jadi rada becek. Saya memberinya senyum paling manis dan mengatakan, “ tak apa, mama Suster juga mau menolong kalian masak” 

Sambil membantu memotong sayuran saya berkata, “ kalian rajin ya, apakah setiap hari kalian kerja mengurus tamu? Mereka menjawab, tidak Mama Suster, kami hanya membantu orangtua kami kalau sudah pulang sekolah. Kebetulan hari ini libur dan bapak serta Mama pergi sehingga mereka berpesan jika ada tamu datang kami harus segera mengurus. 
 “Kalian bisa masak? “
Iya bisa”! 
“Bagaimana cara masak sayur ini?”
 “Oh gampang mama Suster, nanti kita tumis bawang merah dan putih, kasih cabai merah, dan masukan sayur,Setelah agak matang masukan garam dan sedikit penyebab rasa” 

Hebat ya anak-anak ini, mereka bahkan bertanya apa yang kami perlukan dan mereka akan menyiapkan. Teman saya iseng dan ingin minum kopi Manggarai yang terkenal itu dan dengan sigap mereka menyiapkan, begitu juga mereka melayani Om sopir kami yang malam itu ikut menginap. 

Air terasa dingin ketika mencoba untuk mandi. Dinginnya segar dan warna air agak keruh. Kata anak-anak tadi diluar, itu karena hujan di gunung, jika tidak hujan maka air jernih. 

Malam itu hujan turun sangat deras. Dari dalam kamar saya gelisah karena saya memikirkan jalan yang kami lalui besok. Dengan medan yang mendaki dan menurun serta melewati hutan lebat serta sungai besar ( menurut literasi yang sempat saya googling) maka saya agak cemas, gimana kalau besok banjir, gimana kalo jalannya licin dst. 
 Saya mengetuk kamar teman saya, tapi rupanya dia ngebo karena tak terdengar sedikitpun pergerakan dari tempat tidur untuk membuka pintu, maka saya kembali dan terus ke belakang karena saya mendengar suara ramai dari arah kamar belakang. 
Perlahan saya buka pintu, dan menyaksikan kelima anak itu sedang membaca buku dan bercerita. Saya mendengar apa yang mereka percakapkan, tapi karena dalam bahasa setempat saya hanya bisa menangkap beberapa kata. 

Saya lalu menyapa mereka dan minta ijin untuk bergabung Malam itu kami bercerita macam-macam, mereka bertanya banyak hal tentang rumah, asal dari mana, tinggal di mana, dan banyak pertanyaan khas anak kecil lainnya. Saya bersyukur bisa menjawab semua pertanyaan dan membuat mereka puas. 

Rupanya karena aura kami sama maka kami bisa langsung konek. Besok pagi jam 6, kami sudah dijemput guide. Rupanya rumah penginapan ini bekerja sama dengan beberapa guide lokal, jadi ketika tamu datang, akan ditanyaian mau memakai jasa guide atau tidak, karena kami bersedia maka pagi itu seorang bapak sudah cukup berumur telah menunggu kami di teras. 

Setelah semua beres, si bapak meminta tas untuk ia bawa dan kamipun berkenalan. Om Eman sopir kami tidak bisa ikut karena ia tiba-tiba terserang flu dan infulenza. Maka berangkatlah kami bertiga, kebetulan rumah penginapan kami ini terletak paling ujung desa menuju ke hutan sehingga kami langsung bertemu hutan setelah beberapa menit perjalanan. 

Saat awall jalan masih santai juga lurus walau hanya jalan setapak. Setelah melewati dua sungai kami mulai bersiap untuk mendaki bukit. Jalan mulai menanjak, udara masih amat sejuk. Menurut saya ini jalan menanjak tapi tidak terlalu tajam karena jalan setapak ini dibuat berkelok kelok di perut bukit sehingga walau mendaki tak terlalu menguras tenaga. 

Kami berjalan pelan tapi makin lama napas makin terasa berat. Si bapak yang membawa tas kami yang isinya hanya botol minum, dompet, dan payung nampak biasa, ia lalu berinisiatif memotong dua batang kayu untuk kami jadikan tongkat mendaki. Untung saya bisa berjalan cepat dan dalam wakttu singkat, teman saya ketinggalan jauh di bawah, si bapak guide menemani dia. Sampai di ketinggian tertentu saya menunggu mereka sambil menikmati pemandangan alam yang ada mengambil beberapa foto sebagai kenangan. Setelah mereka dekat, saya melanjutkan perjalanan lagi 

Sepanjang jalan kami beberapa kalli bertemu orang, baik itu masyarakat yang datang dari Waerebo atau yang orang lain yang mau ke Waerebo. Bahkan ada diantaranya beberapa orang asing. Saat ketemu kami bercakap-cakap sebentar dan bahkan saya dikasih buah jeruk oleh mereka yang hendak turun dari Waerebo. 
Saya sih senang saja menerima pemberian itu tapi akhirnya membuat tas saya semkain berat, entah karena saya yang ramah dan sok kenal sehingga membuat orang langsung berbelaskasih pada saya 

Tiba-tiba terdengar seperti ada benda berat yang jatuh di belakang saya, serentak saya menoleh, Oh Tuhan, ternyata teman saya jatuh dan si bapak guide sedang berusaha menolong dia. Saya langsung berbalik dan juga ingin membantu. Karena jalan setapak sehingga agak mengganggu pergerakan kami ditambah kabut dan jalan licin maka teman saya jatuh lagi (untung tidak jatuh sampai tiga kali ya kayak Yesus, hehehe)  

Ternyata posisi jatuh teman saya itu persis dibibir jurang, kami tidak begitu memperhatikan karena sebelah kiri kami itu jurang yang tak tampak karena kabut. Untung Tuhan masih menolong kawan saya itu, dan perjalanan kami teruskan. 

Saat kami memasuki hutan, hujan mulai turun dengan deras, kami bersyukur karena sudah masuk hutan dan sudah meninggalkan dua sungai jauh di bawah. Badan kami tetap kering karena pertolongan payung juga karena di hutan air hujan hanya setetes-setetes saja. Hutan yang begitu lebat sehingga daun-daunan memayungi kami dari terpaan hujan. Kebayang betapa lebatnya hutan itu. 

Setelah melewati kebun kopi yang cukup panjang, kami berhenti di sebuah gardu, kata si bapak guide, kami harus membunyikan kentongan yang ada di pos gardu itu. Untuk apa Pak? Saya bertanya. Ia menjelaskan bunyi kentongan itu sebagai tanda bagi orang di kampung Waerebo bahwa ada tamu yang akan mengunjungi. Berapa kali kentongan itu dipukul juga sebagai pemberi informasi tentang tamu yang akan datang itu menginap atau hanya main dan langsung pulang. Karena kami tidak menginap maka si bapak memberi tanda dengan bunyi kentongan yang ia sendiri yang tahu. 

Akhirnya sampai juga di negeri diatas awan, deretan rumah adat yang indah. Ternyata rumahnya besar juga ya, kirain kecil kayak di majalah atau koran wisata itu. Tiang utama mbaru ini memiliki beberapa tingkatan dengan arti filosofisnya sendiri. Waktu itu kami mendapat penjelasan dari tua adat di rumah itu tapi saya sudah lupa karena banyak memakai istilah lokal. 
Kondisi rumah yang lebar di dalamnya memungkinkan beberapa keluarga dalam suku dapat tinggal bersama-sama. Kamar tiap keluarga diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu privacy orang lain. Ruang tengah yang luas menjadi tempat umum untuk berkumpul atau makan bersama. Dapur mereka berada di tengah-tengah dengan satu cerobong asap sederhana. 

Penduduk kampung yang ramah, mereka bercerita dengan penuh semangat tentang kampung mereka, rasa kopi yang mengigit, air dingin menyejukkan ketika dipakai untuk mandi serta makanan kampung yang terasa meleleh di lidah. Semua itu adalah gambaran kampung cantik diatas gunung yang penuh warna warni. Ada aura mistis mistik gitu tapi tak mempengaruhi orang untuk datang melihat keindahannya. 

Saatnya kami harus kembali ke penginapan jika tak ingin bermalam di jalan, begitu kata si bapak guide, akhirnya mmebuat kami segera bergegas untuk turun gunung. Sebetulnya enak jika menginap semalam diatas karena kampung itu menyediakan khusus satu mbaru untuk menginap para tamu. Tapi karena kami tidak siap untuk menginap maka sore itu juga kami turun, sekalian saja capeknya Perjalanan turun dihiasi dengan hujan rintik-rintik, hawa dingin menerpa wajah ketika kami mulai berjalan masuk hutan. 

Ternyata kami bertemu banyak orang yang mau naik di kampung Waerebo. Rupanya mereka itu adalah orang-rang yang punya ladang di kampung lain dan sore itu baru pulang dari kebun. Bahkan kami juga bertemu beberapa anak yang pulang sambil membawa tas. Mereka adalah anak-anak Waerebo yang bersekolah di Denge atau kampung sekitar, tinggal di rumah keluarga di sana dan akan balik ke Waerebo di hari Sabtu sore 

Perjalanan kembali tidak mengalami masalah hanya saja dua sungai yang tadi pagi lewati masih dalam keadaan baik baik saja sekarang sudah melebar dan hampir tidak bisa diseberangi karena banjir. Untung kami bertiga dengan berpegangan tangan bisa melewati dengan selamat dan begitu sampai di ujung kampung menuju penginapan, kami melihat Om Eman sudah menunggu dengan wajah pucat. Ia mengucap syukur pada Tuhan ketika melihat kami tiba dengan selamat. 

Menurut cerita Om Eman, ia merasa tidak nyaman selama kami berangkat ke kampung Waerebo karena banyak orang mengatakan sungai sedang banjir dan hujan lebat sampai sore. Ia takut terjadi apa-apa dengan kami. Ia berusaha menelpon kami tapi tidak ada sambungan, gimana mau nyambung wong diatas sana tak ada signal sama sekali. Om Eman sibuk menyesali diri kenapa ia tidak pergi bersama kami, secara dia ditugaskan khusus untuk menghantar kami, gimana nanti pertanggungjawaban dia kalau terjadi sesuatu dengan kami. 

Maka dengan penuh rasa ia menanti kami di pintu kampung dan alangkah gembira hatinya ketika melihat kami muncul. Bahkan Ia dengan segera mengambil tas kami dan membawanya sedangkan teman saya ini dengan pakaian lengkap jas hujan, tongkat tetap dituntun oleh bapak guide sampai penginapan. 

Terima kasih Tuhan Sampai di penginapan, kelima anak kecil sudah menunggu kami dengan kopi panas dan pisang goreng mengepul. Ah anak2 hebat dan pandai, mereka tahu dengan pasti kebutuhan kami yang sedang dalam keadaan capek dan dingin. Singkat kata setelah selesai beres-beres kami langsung kembali ke Ruteng. Anak-anak itu berusaha menahan kami untuk menginap semalam tapi kami pikir biarlah sekalian capek tak apa yang penting sudah di rumah sendiri. 

Perjalanan kaki PP 7 jam ditambah naik mobil 3 jam membawa kami tiba di rumah di Ruteng. Para suster sudah menunggu kami sampai ketiduran karena hampir jam 10 malam saat itu. 
Begitu mobil berhenti kami berusaha turun ternyata, kaki tidak bisa bergerak. Kaki saya bengkak dan itu membuat saya tidak bisa berjalan. Akhir kata saya harus digendong untuk turun dari mobil. Hehehehhe…. 

Pengalaman berkesan yang tidak akan kami lupakan. Untuk saya perjalanan yang menantang seperti ini cukup sekali saya lakukan. Saya tidak ingin mengulang kembali. Hanya saya yang merasakan betapa sakit seluruh badan selama beberapa hari sebagai akibat dari perjalanan mendaki gunung itu. Kami bukan pendaki gunung yang mempunyai stamina ok, kami tidak menyiapkan diri untuk berjalan sejauh itu.
  
Waerebo negeri di atas awan yang indah, semoga keindahanmu membuat semakin banyak orang bersyukur atas karya agung Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tours' dan Marie Incarnasi

Gadis KEcil Dari Desa

Mereka Datang Dari Sittard