Blessing In Disquise

 

Sudah hampir 6 bulan semua kita berada dalam situasi seperti ini. Kondisi bangsa dan negara kita yang kurang nyaman dalam melakukan aktivitas setiap hari karena adanya pandemi yang merebak. Awal Maret sejak ditemukan dua kasus awal di Depok, kita semua sudah berdear-debar dan dilanda ketakutan akan virus berbahaya ini. Saat bersamaan dengan pengumuman Presiden di layar kaca, semua orang langsung menyerbu supermarket mencari masker, mengumpulkna sabun cuci tangan sehingga dalam waktu singkat persediaan di supermarket habis.

Banyak diantara masyarakat Indoensia yang segera mengumpulkan bahan makan sebanyak mungkin jangan sampai kehabisan karena dengar-dengar kota akan dilockdown atau ditutup. Bahkan banyak yang berjuang untuk menimbun bahan makanan, masker, alat kesehatan di rumahnya. Entah untuk persediaan atau untuk djiual umum ketika semakin banyak orang yang membutuhkan.

Saat awal, kami di sekolah belum terlalu cemas, semua kami menjalankan aktivitas belajar dan bekerja seperti biasa. Kami hanyak melakukan beberapa perubahan kecil seperti membuat aturan baru untuk tidak bersalaman di ketika bertemu di sekolah dan mengkonsumi makanan bergizi plus suplemen untuk tubuh. Karena itu setiap pagi dalam beberapa hari semua kami memberi salam dengan cara menundukkan kepala dan menangkup tangan di dada sebagai tanda menyalami  satu sama lain.

Pertengahan Maret situasi makin runyam, maka turun peraturan dari pemerintah agar anak belajar dari rumah, dan guru menyiapkan materi dengan daring atau dalam jaringan. Situasi yang mendadak ini sempat membuat komuntas sekolah kelimpungan. Tersendat dan penuh hambatan tapi kegiatan belajar harus berjalan terus. Maka di setiap kesempatan guru duduk belajar lagi, mencoba banyak hal yang sebelumnya gelap gulita. Saat itu nampak sekali semua guru membuka laptop. mencoba sana sini agar anak bisa belajar dari rumah. Cara yang ditempuh paling sederhana adalah mengirim materi pelajaran lewat WA ( ). Bebebrapa orangtua yang komplain karena tidak siap, banyak orangtua yang dalam sekejap berubah peran jadi guru dan mulai belajar lagi materi pelajaran anak.

DI samping itu ada sekian banyak orangtua yang mengalami kesulitan mendampingi anak belajar karena kesibukna mereka bekerja, ada lagi yang merasa berat karena pemakaian pulsa data yang tak terkendali. Bahkan beberapa orangtua yang kesulitan menghadapi anaknya sendiri yang belajar di rumah. Semua ini karena orangtua tidak terbiasa menjadi guru untuk anaknya sendiri.

Bagaimana dengan guru? Apakah guru baik-baik saja? Tentu tidak. Guru memulai dengan belajar IT. Belajar sana sini, mencoba banyak hal baru. Yayasan juga ikut membantu dengan mendatangkan pembicara atau orang pinter untuk membantu guru belajar dan tentu saja dengan cara daring. Banyak pembelajaran yang didapat alau dipraktekkan ke anak, tapi sekali lagi masih mengalami kendala.

Reaksi anak-anak dalam hal ini beraneka ragam. Dengan belajar di rumah mereka tidak harus ke sekolah, tidak wajib memakai seragam dan tentu saja tidak ada peraturan sekolah yang mengikat. Karena bagaimanapun sekolah tetap memikirkan psikologis anak yang belajar dari rumah. Mereka tidak boleh stress yang akan berakibat pada menurunnya sistem imun tubuh. Oleh karena itu sekolah tidak membuat banyak tuntutan. Sekolah menyikap cara belajar seperti ini dengan memberi pengertian  tentang  jam mengirim tugas ke guru yang diperpanjang sampai malam karena mengingat ada orangtua yang bekerja dan tidak bisa mendampingi anak belajar, atau ada juga orantua yang membawa HP untuk bekerja sehingga belajar anak dipending hingga sore setelah mereka pulang kerja. Selain itu, sekolah juga menurunkan tingkat kesukaran materi belajar atau tugas. Harapan hanya satu agar anak tidak stress belajar di rumah.

Akibat dari kebijakan sekolah ini, banyak orangtua mengeluh bahwa banyak anak yang nampak menurun di bidang kedisiplinan, mereka sesuka hati mengerjakan tugas, waktu tidur dan bangun molor seenaknya dll. Tetapi semua  itu sekolah maklumi., sekolah berusaha mengerti akan posisi anak dan kondisi yang mengelilingi mereka.

Jika kembali mengamati situasi ini nampak sekali banyak banyak hal terjadi. Semua aturan porak poranda, bukan hanya itu dampak secara ekonomi adalah, banyak perusahaan merumahkan pegawainya sehingga kehidupan keluarga juga agak goncang. Bagi masyarakat golongan menengah ke atas , peristiwa ini tidak terlalu membawa mereka ke jurang kehancuran. Sebaliknya dengan masyarakat golongan bawah, situasi ini sangat kelihatan. Mereka harus tetap bekerja apa saja untuk hidup. Para penjual harus ke pasar, bapak becak harus tetap mengayuh becak agar mendapat uang. Mereka dari kaum ini agak susah untuk taat pada anjuran pemerintah untuk tetap tinggal di rumah, jaga jarak dll. Bagaimana  bisa tinggal di rumah, sedangkan keluarga mereka harus makan? Dalam hal ini semua serba sulit.

Pertama kali dalam hidup saya mengalami situasi ini, tentu juga teman-teman saya yang lain. Teman-teman saya ini bisa para suster se tarekat, teman guru, keluarga dan siapa saja yang berada di sekitar saya. Reaksi pertama masih baik-baik saja karena masih berharap wabah ini hanya seminggu dua minggu dan akan beres. Maka ketika pemerintah mengumumkan supaya anak belajar di rumah dua minggu, saya dan teman-teman memiliki harapan besar bahwa setelah dua minggu kami semua akan hidup normal lagi.

Ternyata keadaan ini malah berjalan sudah sampai setengah tahun 6 bulan, bahkan dengar-dengar akan berlangsung selama dua tahun penuh. Cukup terkejut dengan kenyataan ini. Hampir pasti stress datang silih berganti, sakit penyakit yang tidak jelas mulai bermunculan. Untunglah ketika pandemi ini merebak saya sudah selesai menjalani perawatan dan operasi yang besar di rumah sakit, sehingga harusnya saya tenang menghadapi ini, tapi malah sebaliknya.

Semua kegiatan sekolah dihentikan, juga upacara liturgi di gereja berhenti dan diganti dengan misa live streaming dari rumah. Bertemu orang lain menjadi tak berani karena serba takut, tapi mau tidak mau hidup harus berjalan terus. Di samping itu  berita-berita di koran baik online atau media sosial yang banyak bertebaran, semuanya berlomba lomba menampilkan berita tentang corona, entah itu orang yang terpapar, daerah yang kena, korban yang meninggal dunia, zona daerah tertentu dan lain-lain. Semakin banyak membaca semakin pusing dan takut.

Komunitas kami berusaha dengan berbagai cara menolong orang lain. Saat awal kami mengumpulkan sembako dan uang dari kebaikan hari para orangtua murid. Hasil yang terkumpul kemudian kami bagikan kepada orang lain yang membutuhkan. Ada yang menyumbang bahan makanan, ada lain lagi uang, ada memberi bahan kain untuk dijahit masker, beberapa orang mengirim sayur dan makanan kering atau mkanan matang. Kebetulan di biara ada ibu tukang jahit yang bekerja di bilik jahit, maka atas bantuan ibu tersebut serta kebaikan hati para suster maka, sering terjadi gotong royong menjahit masker di bilik yang tidak terlalu luas itu. Hasil masker kami satukan dengan sembako lalu kami turun ke jalan. Selain itu dapur biara juga dipenuhi oleh ibu-ibu karyawan jika ada jadwal memasak untuk orang miskin. Para ibu karyawan ini dengan sigap memasak sekaligus membukus rapi. Tugas mengirim ke jalanan bermacam-macam, ada para suster, bapak ibu guru, pegawai lain yang semuanya diatur secara bergiliran.

Saat turun ke jalan, bertemu dengan banyak orang yang sangat senang menerima pemberian kami. Kebanyakan mereka adalah orang-orang kecil yang setiap harinya hidup di jalanan. Kalau bertemu orang yang tidak memakai masker atau tidak menjaga jarak maka kami dengan sopan memberi tahu mereka agar memakai masker dan menghindari kerumuman. Begitu seterusnya kami lakukan sampai dengan sebulan penuh. Setelah itu kegiatan memberi sembako dan makanan kami hentikan sementara.

Acara komunitas yang biasanya teratur rapi dan sudah berlangsung lama, terpaksa kami rombak dan mengatur ulang supaya menyesuaikan dengan jadwal anak asrama. Anak-anak gadis ini hendak kami libatkan dalam kegiatan para Suster yakni berdoa bersama. Jika dulu kami berdoa pada pukul 18.30 sore maka sekarang menjadi pukul 18.00. Saat ini kami semua berkumpul di kapel untuk berdoa bersama dengan ujud yang sama memohon agar Tuhan melindungi kami semua dari wabah virus corona. Di lain waktu kami berdoa untuk bangsa dan tanah air agar sehat kembali. Tak lupa kami juga berdoa untuk para pemimpin kami. Doa yang kami lantunkan ini berbeda-beda, ada doa Rosario, ada Adorasi kepada Sakramen Mahakudus bahkan tiap Jumat kami daraskan doa Koronka. Kami ingin menyerbu Tuhan bersama anak-anak agar IA mendengarkan kami.

Acara misa di gereja juga mengalami perubahan. Biasanya kami tiap pagi ke gereja, saat ini kami hanya bisa berdoa ibadat bersama tanpa imam di kapel dan sesudah itu menerima komuni. Untunglah sekarang ini sejak Minggu kedua bulan Juli, Bapa Usukup sudah mengijinkan pembukaan gereja kembali. Kami bisa ke gereja untuk misa bersama dengan memperhatikan protokol kesehatan secara ketat.

Terhadap hal ini gereja memberi kelonggaran kepada umatnya, jika mengalami sakit atau merasa tidak nyaman maka bisa berdoa di rumah dan tidak wajib ke gereja karena lebih baik kita menhindari daripada mengobati. Untuk saya pribadi saya tidak mau jadi orang yang menulari orang lain, maka saya harus berjuang sekuat tenaga untuk tetap sehat dan bisa hidup bersama orang lain dengan damai. Kasihan orang lain jika saya menjadi orang yang sakit-sakitan dan merepotkan mereka.

Sejak minggu kedua bulan Juli, sudah ada beberapa peraturan yang sedikit lebih longgar. Orang sudah bisa keluar berbelanja, ke pasar, ke kantor tetapi sedapat mungkin menghindari kerumuman. Yang bekerja di kantor dan di sekolah diatur dengan jadwal sitf-sitf –an ketat, Jika sebuah kantor atau sekolah menjadi kluster baru maka dengan sendirinya kantor atau sekolah itu ditutup. Amit-amit jabang bayi, Tuhan jauhkan kami dari semua hal yang berbahaya ini.

Apa dampak dari pandemi ini

a.    Masyarakat : Pandemi ini pada awalnya membawa aura ketakutan bagi masyarakat luas. Setiap orang di manapun dia berada, entah di negara mana pasti mengalami situasi ini. Masyarakat takut karena virus ini membawa aura kematian. Jika seorang telah terpapar maka hampir pasti bunyinya mati. Virus ini belum ada obatnya sama sekali, dan pemerintah serta para ilmuawan sedang berjuang menciptakan antivirus. Jika kita membaca di koran atau melihat televisi, akan nampak bagaimana rasa takut ini melanda semua orang. Banyak diantara orang-orang ini mulai mempersiapkan diri untuk melakukan karantina, lock down dan lain sebagainya. Ada lagi yang masih mau bekerja tapi memperhatikan protokol kesehatan. Mengikuti ini dampak ekonomi muncul bersamaaan di mana-mana. Daya jual tinggi tetapi daya beli masyarakat rendah karena banyak orang secara perlahan kehilangan mata pencaharin. Orang kecil di PHK oleh perusahaannya.

b.    Keluarga : Paling terasa adalah keluarga di mana mereka harus terlibat secara langsung untuk melindungi semua anggota keluarganya. Tidak hanya itu keluarga harus makan sedang dalam banyak kasus banyak orang kehilangan lapangan kerjanya. Keluarga juga harus tetap memperhatikan kelangsungan pendidikan anaknya. Dengan pandemi maka sistem pendidikan yang awalnya tatap muka menjadi tatap maya. Masalah baru muncul, anak butuh pulsa data, anak perlu sarana IT untuk belajar misalnya laptop atau Handphone. Untunglah beberapa pemerintah daerah cepat tanggap akan hal ini. Ada yang menyiapkan laptop untuk dipinjamkan kepada semua anak kelas 5 dan 8. Bahkan ada juga pemeritnah daerah yang jauh-jauh hari sebelumnya sudah memasang WIFI gratis di sudut-sudut kota atau perumahan supaya bisa membantu anak untuk mengakses belajar. Selain itu orangtua di rumah berperan penting dalam membantu anaknya belajar secara penuh. Guru memberi materi belajar dan tugas orangtua adalah membantu anaknya untuk mengerti materi belajar itu. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Di media sosial terlihat banyak curhatan orangtua mulai dari yang romantis sampai dengan marah-marah perihal anaknya. Curhatan ini entah tentang perubahan tingkah laku anak dalam belajar atau kesiapan anak yang mau belajar daring. Hampir pasti berubah 200 persen jika dibanding anak belajar bersama guru di sekolah. Orangtua stress? Pasti iya

c.    Sekolah : Bagaimana sekolah menyikapi hal ini? Ketika pandemi mulai menyebar, serentak sekolah di seluruh Indonesia bergerak merubah pola pikir. Kebetulan Mentri Pendidikan sekarang ini masih muda dan memiliki visi misi yang jelas maka dengan aura kepintarannya ia berusaha menolong semua sekolah di Indonesia untuk mulai berbenah dengan menciptakan program pembelajaran secara jaringan untuk membantu anak. Bagaimana dengan sekolah kami? Kami langsung merespon positip dengan mulai belajar dengan keras. Sekolah menciptakan beberapa program baru yang sifatnya ramah anak agar ia senang dan gembira belajar walaupun dari rumah. Banyak pembelajaran dari para guru besar dan para praktisi pendidikan mulai dikuti oleh para guru kami.  Singkatnya sekolah tidak mau berdiam diri berhadapan dengan wabah berbahaya ini. Murid harus tetap belajar dan harus pintar.

d.    Guru : Guru yang tadinya masih berkutat dengan pembelajaran tradisional, maka dengan sendirinya harus meninggalkan itu semua dan langsung bertatap muka dengan dunia IT. Guru yang tadinya  tak paham teknologi, saatnya melek teknologi. Dan dengan gembira saya harus mengatakan bahwa banyak ekali yang berkembang dengan baik dalam hal ini. Yang tadinya hanya bisa menonton youtube orang lain sekarang bisa menjadi youtuber, bisa mempunyai account sendiri. Jangan dikira ini pekerjaan gampang, jangan harap ini bisa seccepat membalik telapak tangan. Para guru berjuang dengan keras untuk belajar, berusaha mengetahui dengan pasti video pembelajaran, dan macam-mama pembelajaran I learning lainnya. Banyak sekali dilakukan uji coba pembelajaran daring kepada anak dan akhirnya situasi ini bisa berjalan dengan baik. Tiada hari tanpa kerja kereas, karena dengan pembelajaran dalam jaringan seperti ini guru harus menyiapkan banyak waktu untuk anaknya. Karena gurulah tempat anak bertanya ketika ia mengalami kesulitan belajar. Terlepas dari beberapa kesulitan yang dihadapi oleh kami sebagai guru, kami tidak mau mengeluh, kami percaya bahwa pandemi ini mesti diusir dengan tekad yang kuat supaya ia segera hengkang dari bumi kami.

e.  Lingkungan Hidup : Barangkali yang paling bahagia adalah lingkungan alam sekitar. Bumi dapat beristirahat saejenak, pohon-pohon tumbuh dengan menghirup udara yang segar. Kendaraan menjadi jarang dipakai karena semua orang mau tinggal di rumah saja. Akhirnya polusi udara berkurang, udara menjadi bersih dan akhirnya manusia menjadi lebih sehat. Banyak tanaman menjadi tumbuh subur, air berlimpah, lapisan ozon menebal kemabli dan air laut tidak menjadi asam karena tingkat polusi menurun. Jika kita berjalan ke mana-mana maka akan tampak pohon dan lingkungan yang subur dengan banyak air. Ini yang dinamakan blessing in diquise bahwa ada rahmat yang tersembunyi di balik sebuah kejadian yang menyedihkan.

Secara khusus saya menerima ini sebagai bagian dari pasang surut kehidupan yang harus dialami. Ketika saat awal pandemi ini ada ada semacam penolakan karena hidup mesti diatur dengan baik. Makan makanan bergizi, tidak boleh bertemu orang bahkan anak-anak yang merupakan sumber energi kini harus tinggal di rumah dan kami tidak bertemu. Setiap keluar rumah harus memakai masker bahkan yang paling menjengkelkan adalah ketika bertemu orang banyak jadi negative thingking, takut tertular dan menganggap orang lain itu sumber virus. Karena situasi ini banyak sekali efek psikosomatik, tubuh menjadi tidak sehat, meriang, merasa panas walau sebetulnya tidak. Tiba-tiba merasa sesak napas dan takut yang tak beralasan.

Begitulah dampak psikologis ini tidak saja saya atau beberapa orang alami tetapi hampir semua orang mengalami hal ini, hanya reaksi tiap orang berbeda. Selain itu karena hidup berbaur bersama virus maka mau tidak mau saya dan juga orang lain menjadi pinter bagaimana menjaga kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungan sekitar. Sudah ada pola baru yang ada yakni setiap kali pulang dari bepergian maka dengan segera mandi, lau berusaha makan makanan yang sehat, berolahraga dan isitrahat yang cukup. Hal lain yang juga cukup mempengaruhi adalah pengeluaran transportasi menjadi jauh berkurang. Kami semua tidak berani keluar kota walau itu untuk urusan yang penting sekalipun. Kami semua menunda waktu libur bersama keluarga, karena kami menyadari bahwa kami tidak ingin membawa virus untuk mereka.

Saat memasuki bulan ke 7 virus ini, kami sudah lebih siap untuk hidup. Apalagi dengan perhatian pemerintah yang besar terhadap rakyatnya seperti: bantuan pemerintah berupa kuota pulsa belajar untuk semua guru dan anak didik. Bantuan ini menjawab kesulitan banyak orangtua murid yang tidak sanggup membeli data setiap bulan. Bantuan tunai langsung mandiri kepada masyarakat yang paling membutuhkan. Pemerintah memberi beberapa kemudahan kepada peserta didik dan guru untuk proaktif belajar melalui beberapa link yang disiapkan pemerintah> Pemerintah berharap agar ada kreativitas dari guru dalam mengelola konten belajar yang sudah disiapkan.

Berharap agar pandemi ini segera berakhir dan kami semua bisa hidup normal seperti sediakala. Berharap agar kami semua diberi kekuatan dan kesanggupan untuk melawan virus ini tentu saja dengan cara-cara yang baik dan sesuai dengan protokol kesehatan. Berharap bahwa banyak juga orang yang telah  terpapar dan sembuh, ini artinya tubuh kita sedang berjuang keras untuk melawan. Berharap semua kita taat pada anjuran pemerintah untuk hidup sehat dan tetap pada protokol kesehatan. Akhir kata tak  boleh takut karena efek dari rasa ini mempengaruhi imun tubuh kita. Imun kita mesti kuat agar tetap tangguh di tengah gempuran virus yang mematikan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tours' dan Marie Incarnasi

Gadis KEcil Dari Desa

Mereka Datang Dari Sittard